R A N G G A A F I A N T O a n d P a r t n e r s

Counselor at Land, Forest and Mining Law & Litigation

Kamis, 18 Agustus 2011

Rangkaian Permasalahan Pendaftaran Tanah Pertanian

rangga.afianto@gmail.com

Dalam tataran filosophis pemikiran (terlepas dari praktek pelaksanaannya) sistim pendaftaran tanah di Indonesia terjadi kemunduran, dari sistem "publikasi positif" ke sistem negatif, yang menutup atau mempersulit jalan pemecahan permasalahan tiadanya jaminan kepastian hukum pertanahan. Kesalahan terbesar terletak pada sistemnya sendiri yang tidak konstruktif. Suatu ironi kebijakan antara pengharapan sekaligus penghalangan pencapaian tujuan dari pendaftaran tanah itu sendiri.

Tap MPR no. IX tahun 2001 tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam memberi arahan kebijakan untuk mengadakan pendataan pertanahan melalui inventarisasi dan registrasi penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah secara komprehensif dan sistematis dalam rangka pelaksanaan Landreform di Indonesia, serta berprinsip pada keberlanjutan sumber daya alam untuk generasi sekarang maupun generasi mendatang dan pada keseimbangan hak dan kewajiban negara, pemerintah (pusat provinsi, kabupaten/ kota, desa), masyarakat dan individu.

Sehubungan dengan itu perlu kiranya sekilas menengok kebelakang tentang sistim pendaftaran tanah di Indonesia. Overschrijvingsordonnantie (Peraturan Balik Nama) tanggal 2 April 1834 (Stbl. 1834 No. 27) adalah aturan pertama kali mengenai pendaftaran tanah yang menganut sistem positif, yang pasal 1-nya menyatakan "pendaftaran merupakan satu-satunya alat bukti dan peralihan mengenai semua benda tetap serta semua akta dengan mana benda tetap itu dibebani hipotik berikut semua akta cessienya hanyalah sah apabila dibuat dimuka Pejabat Balik Nama" (Maria S. Sumardjono, Puspita Serangkum: Aneka Masalah Hukum Agraria, 1982, hal. 25). Dengan demikian karena pendaftaran merupakan satu-satunya alat bukti, maka logikanya negara bertanggung jawab atas data yang disajikan, dan hal ini dapat menjamin kepastian hukum.

Sedangkan sistim UUPA menganut sistem publikasi negatif (pasal 19 UUPA dan aturan pelaksanaannya PP 10/1961 tentang Pendaftaran Tanah dicabut oleh PP 24/1997), yang pada dasarnya sertifikat hanya sebagai salah satu tanda bukti hak atas tanah, sebagai tanda bukti yang kuat, tapi tidak mutlak. Hal ini dapat berimplikasi negara tidak bertanggung jawab sepenuhnya terhadap data yang disajikan, konsekwensinya sertifikat tidak menjamin kepastian hukum. Alasan pemberlakuan sistem negatif (tidak murni) oleh karena "pelaksanaan sistim positif membutuhkan banyak waktu, tenaga dan biaya, sedangkan dengan sistim negatif penyelenggaraan dapat dilaksanakan dalam waktu yang lebih singkat". (Maria S. Sumardjono, Puspita Serangkum: Aneka Masalah Hukum Agraria, 1982, hal. 25). Sebagai solusi jalan pintas ?.

Namun apakah waktu, pikiran, tenaga, dan biaya untuk penataan dan pemulihan "luka" yang ditimbulkan tidak lebih menguras dan boros ? Yang jelas jaminan kepastian hukum pendaftaran tanah adalah kewajiban negara dalam hal ini pemerintah sebagai penyelenggara (pasal 19 UUPA), dan hak menuntut rakyat akan adanya jaminan kepastian data dan informasi yang disajikan berkaitan dengan pendaftaran tanah. Jaminan kepastian hukum tidak dapat diartikan setengah-setengah, tetapi sepenuhnya.


Pertanian dan Tanah Subur yang Ekonomis

"Pertanian adalah penggunaan secara ekonomis yang berkelanjutan atas tanah subur untuk menghasilkan produksi tanaman (produksi primer, anatara lain bahan pangan, pakan, bahan mentah teknis) dan produksi hewan /produksi sekunder (Kroeschel, 1983)"

Karakter tanah pertanian berbeda dengan tanah untuk perumahan maupun bangunan. Tanah pertanian pemanfaatannya untuk pertanian, perkebunan, perikanan, tempat penggembalaan ternak (tanah angonan), tanah belukar bekas ladang dan hutan yang menjadi tempat pencaharian bagi yang berhak. Lebih lanjut tanah pertanian dibedakan menjadi tanah sawah dan tanah kering/ darat (Instruksi Bersama Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah dengan Menteri Agraria tanggal. 5.1.1961, no. Sekra. 9/1/12). Tanah sawah dibedakan menjadi tanah sawah ber-irigasi dan tanah sawah tadah hujan (A.J. van der Heyden, Landrente 1939). Tanah kering dikategorikan menjadi tanah bukan sawah (selain sawah), termasuk tambak, empang, untuk perikanan, yang pada hakekatnya tidak kering.

Terjaminnya tanah subur berkaitan dengan kestabilan perencanaan sektor-sektor dan penataan ruang, yang semaksimal mungkin mencegah adanya alih fungsi tanah pertanian untuk non-pertanian. Namun alih fungsi tanah pertanian ke non-pertanian ini masih merupakan masalah besar, akibat dari belum dilaksanakannya Perencanaan Umum dengan baik sebagaimana amanat UUPA yang diberikan pada pemerintah (pasal 14 UUPA). Pemenuhan kestabilan Perencanaan Umum ini adalah pokok, sebagai langkah selanjutnya setelah penyelesaian masalah tiadanya peta dasar yang satu. Pemenuhan tangung jawab dari pemerintah ini adalah mutlak untuk mencegah kerusakan tanah dan lingkungan hidup, dan penghindaran terhadap kewajiban ini dapat dikenakan pidana (pasal 15 dan 52 UUPA).

Kekhususan tanah subur pertanian ini seharusnya membutuhkan peraturan khusus mengenai peralihannya yang mensyaratkan secara khusus pula, baik subyek, obyek dan sistem pengusahaannya untuk dapat menjamin keberlanjutannya. Perbuatan-perbuatan hukum peralihan tersebut dapat berupa waris usaha tanah pertanian, jual-beli, sewa tanah pertanian,dll.

Penggunaan secara ekonomis yang berkelanjutan atas tanah subur dapat menyangkut masalah luas minimal tanah pertanian dan sistem pengusahaannya. Asas penguasaan tanah pertanian dengan luas minimum 2 (dua) hektar, yang diatur dalam UULR bertujuan untuk supaya petani dan keluarganya dapat mencapai taraf penghidupan yang layak dan mencegah supaya tidak terjadi fragmentasi tanah pertanian (pemecahan) lebih lanjut. Namun aturan dalam pasal 9 ayat 1 Undang-Undang Land Reform/UULR menyatakan "Pemindahan hak atas tanah pertanian, kecuali pembagian warisan, dilarang apabila pemindahan hak itu mengakibatkan timbulnya atau berlangsungnya pemilikan tanah yang luasnya kurang dari dua hektar...". Disamping itu jumlah petani gurem, yang menguasai tanah pertanian dibawah 0, 5 hektar semakin meningkat. Keadaan ini tidak kondusif.

Oleh karena itu, mutlak adanya langkah kebijakan pertanian yang konstruktif, misal: petani adalah pelaku utama usaha pertanian yang mempengaruhi perdagangan, oleh karena itu diperlukan syarat-syarat khusus baik untuk kewajiban maupun hak-haknya. Berkaitan dengan itu Pemerintah perlu mulai membedakan mana kebijakan pertanian dan mana kebijakan jaminan kesejahteraan (era spesialisasi). Seharusnya petani golongan miskin tidak masuk dalam lingkup konsep kebijakan pertanian, tetapi masuk dalam kebijakan jaminan kesejahteraan sosial (Departemen Sosial). Andai saja pemerintah konsisten melaksanakan Konstitusi dan pelaksanaannya UU No. 40 tahun 2004 tentang Sistim Jaminan Sosial Nasional, maka seharusnya istilah "golongan miskin" merupakan kata tabu dalam kebijakan pemerintah. Di dalam negara yang mengaku dirinya sebagai negara hukum, tugas itu bukan merupakan suatu pilihan, akan dilaksanakan atau tidak, tetapi suatu keharusan.

Pemecahan masalah luas tanah pertanian sempit untuk dapat mencapai batas minimum atau lebih sebagai syarat usaha pertanian ekonomis yang berkelanjtan, dapat ditempuh beberapa alternatif pemecahannya seperti berikut :
1) Memberi pensiun terhadap petani yang sudah tua;
2) Memberi kompensasi bagi petani muda yang tidak tertarik lagi bekerja di bidang pertanian;
3) Membentuk "Pertanian Bersama", melalui penggabungan tanah pertanian dalam satu usaha pertanian dengan sistem manajemen modern, dengan jumlah tenaga kerja dan teknologi yang efektif dan efisien, sementara pemilik lainnya mendapatkan kompensasi berdasarkan perjanjian.

Konsekwensi dari pemerintah yang mencita-citakan usaha pertanian yang berkelanjutan yaitu membuat kebijakan-kebijakan yang mendukung terciptanya Petani yang profesional dan sejahtera sesuai dengan perkembangan zaman, mengikuti perkembangan teknologi, komunikasi, transportasi, globalisasi ekonomi, dll..


Pendaftaran Tanah Pertanian dan Struktur Pertanian

Kebijakan Pendaftaran pemilikan, penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah pertanian serta pengusahaannya, secara komprehensif, mutlak diperlukan untuk adanya usaha pertanian yang berkelanjutan dan bermasa depan. Untuk itu data dan informasi mengenai lalu-lintas tanah pertanian, perbuatan-perbuatan hukum untuk peralihannya serta hubungan-hubungan hukum yang berkaitan dengan pengusahaannya diperlukan secara terus-menerus.

Hal tersebut merunut pada program Land Reform, yang intinya menuntut perombakan "pemilikan dan/ atau penguasaan tanah pertanian" dan "hubungan-hubungan hukum yang berkaitan dengan pengusahaannya", yang kedua variabel tersebut merupakan bagian yang tak terpisahkan untuk usaha pertanian yang berkelanjutan. Dengan demikian pemilikan tanah pertanian dan benda-benda yang ada di atasnya (untuk pengusahaannya) merupakan suatu kesatuan, bagian yang tak terpisahkan (menganut azas vertikal). Oleh karena itu kebijakan tanah pertanian mau tidak mau menuntut secara serentak-sekaligus melingkupi juga kebijakan-kebijakan seluruh faktor-faktor dalam struktur pertanian (Agrastruktur), baik faktor teknik (tanah sebagai sub-faktor), faktor ekonomi maupun faktor sosial, yang bekerjanya saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan untuk mencapai tujuan.

Faktor teknik mencakup: kepastian hak-hak atas tanah, luas minimal dan maksimal tanah pertanian yang berkeadilan, hukum tanah dan turunannya: rencana sektor-sektor, penggunaan tanah, penataan ruang dan zonasi, perairan, peraturan-perundangan pertanian (hukum pupuk, hukum bibit, hukum kredit pertanian (yang tidak mengenal sita jaminan), hukum waris usaha pertanian, hukum perjanjian dalam pertanian, hukum koperasi pertanian, hukum ketenagakerjaan dalam pertanian, hukum anti monopoli bidang usaha pertanian, dan sebagainya). Selain itu juga organisasi administrasi agraria dan aparat pemerintah, serta organisasi non-pemerintah, kemudian faktor ekonomi yang mencakup perhitungan ekonomi pertanian (pengeluaran, pajak, ongkos-ongkos resiko, dan sebagainya), sistem perdagangan dari masing-masing produk pertanian (dalam negeri, regional maupun internasional). Kemudian faktor sosial yang berkaitan dengan sistem jaminan kesejahteraan petani, seperti jaminan pendapatan petani, jaminan kesehatan petani, jaminan hari-tua petani, jaminan kecelakaan-kerja, jaminan pemeliharaan, dan sebagainya.

Dengan demikian kebijakan bagi-bagi tanah pada dasarnya hanya bagian "kecil" (tapi sangat penting dan mendasar), yang akan tidak banyak artinya jika tanpa kebijakan melekat dengan seluruh kebijakan pertanian yang seharusnya. Berdasarkan hal itu faktor-faktor dalam struktur pertanian tersebut dapat merupakan bahan dasar penelusuran untuk pengumpulan data fisik dan data yuridis yang diperlukan dalam pendaftaran tanah usaha pertanian yang berkelanjutan.

Perbedaan pendaftaran tanah untuk tanah pertanian dan non-pertanian belum dipikirkan dalam PP 24/1997, masih mencampur-adukkan perbuatan hukum peralihan hak atas tanah pertanian dan non-pertanian. Hal ini logis karena sistem pendaftaran tanah yang berlaku adalah pendaftaran hak, hanya pendaftaran subyek dan obyek haknya, belum merupakan pendaftaran tanah yang sebenarnya, belum mengkaitkannya dengan sistem pemanfaatan dan pengusahaan ruang secara keseluruhan (pendaftaran tanah yang komprehensif). Obyek pendaftaran tanah yang wajib didaftarkan yaitu Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangungan, Hak Pakai, tanah hak pengelolaan, tanah wakaf, hak milik atas satuan rumah susun, hak tanggungan, tanah Negara, dan tidak menyinggung tanah pertanian yang sifatnya sementara, seperti hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang dan Hak Sewa tanah pertanian. Sementara hak-hak "sementara" ini masih berperan penting dalam kehidupan rakyat tani, yang masih banyak perjanjian diadakan dalam bentuk tidak tertulis berdasarkan kepercayaan. Padahal data dan informasi tersebut seharusnya sangat penting sebagai dasar untuk pengambilan strategi kebijakan pertanian dan kebijakan lainnya, misal kebijakan lapangan kerja, untuk kesejahteraan rakyat.

Hak Gadai tanah pertanian merupakan obyek pendaftaran tanah menurut PP 10 tahun 1961, namun tidak lagi menurut PP 24/1997. Tiadanya sistem khusus pendaftaran tanah pertanian ini, menjadikan kebijakan Land Reform sebagai sesuatu yang "kosong", tidak konsisten, tidak rasional, jauh dari konstruktif. Bagaimana dapat mengontrol berlakunya asas-asas UUPA yang harus dihormati, seperti asas tanah pertanian harus dikerjakan secara aktif, asas larangan pemerasan terhadap pihak yang lemah, dan sebagainya, jika data dan informasi subyek dan obyeknya saja tidak jelas. Seperti pada sistem gadai tanah pertanian yang sudah berlangsung 7 tahun atau lebih harus dikembalikan kepada yang empunya, tanpa kewajiban untuk membayar uang tebusan, karena pemegang gadai tanah pertanian dianggap sudah cukup menikmati manfaat dari tanah gadai, jauh melebihi bunga yang layak dari uang yang diterima oleh yang empunya tanah (pasal 7 UU No. 56 /Perpu/ 1960, dikenal dengan Undang Undang Land Reform/UULR); Apakah ditaati aturan mengenai perjanjian bagi hasil, yang dilaksanakan secara tertulis dihadapan Kepala dari desa atau daerah yang setingkat dengan itu, tempat letak tanah yang bersangkutan (Kepala Desa) dengan dipersaksikan oleh dua orang, masing-masing dari pihak penggarap dan pemilik tanah, kemudian perjanjian tersebut disyahkan oleh camat/ kepala Kecamatan yang bersangkutan atau pejabat yang setingkat dengan itu. Kepala desa mempunyai kewajiban mengumumkan dalam kerapatan desa mengenai semua perjanjian usaha bagi hasil setelah kerapatan terakhir.

Perjanjian usaha bagi hasil diwajibkan dalam bentuk tertulis, yang berisi hak-hak dan kewajiban-kewajiban dari kedua belah pihak tersebut, bertujuan untuk supaya tidak timbul adanya keragu-raguan dan/ atau konflik dikemudian hari. Sedangkan pelaksanaan perjanjian dihadapan kepala desa dan disyahkan oleh Camat bertujuan untuk pengawasan preventif. Perjanjian bagi hasil tanah pertanian dapat terjadi pada pemegang Hak Milik, Hak Sewa atau Hak Gadai, dan dalam praktek dapat juga diatas tanah lungguh atau tanah bengkok. Penggarap dalam perjanjian bagi hasil yaitu petani perseorangan dengan tanah garapan maksimal 3 hektar, kecuali dengan ijin Menteri Muda Agraria atau pejabat yang ditunjuknya, atau Badan Hukum dengan ijin Menteri Muda Agraria atau pejabat yang ditunjuk olehnya, mis. Koperasi Tani untuk tanah terlantar, Perseroan Terbatas atau Yayasan untuk membuka tanah yang sangat luas dengan dasar untuk kepentingan desa atau kepentingan umum (UU 2/ 1960, Peraturan Menteri Pertanian dan Agraria no. 4/ 1964 yang mengatur tentang perimbangan pembagian hasil); Sementara hak sewa tanah pertanian belum diatur secara khusus. Disamping itu sistem yang ada menjadikan Desa dapat tidak mengetahui adanya transaksi tanah didesanya.

Pendaftaran usaha (tanah) pertanian juga menghadapi masalah orientasi kebijakan yang tidak jelas, yang membedakan penguasaan tanah diatas hak privat dengan diatas tanah negara. Untuk penguasaan tanah pertanian dengan hak privat luas minimal 2 (dua) hektar dan luas maksimal 20 hektar (UULR), sedangkan penguasaan tanah pertanian diatas tanah negara dengan HGU 5 - 25 hektar (pasal 5 ayat 1 dan 2 PP 40/1996 tentang HGU, HGB dan Hak Pakai Atas Tanah), sedangkan untuk badan hukum penguasaan luas maksimum tanah pertanian tidak ada batasnya. Lebih jauh lagi dalam UU No. 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal memberikan peluang penguasaan tanah pertanian untuk jangka waktu yang fantastis (UU ini sekarang sedang menjadi pekerjaan rumah Mahkamah Konstitusi), dan tidak boleh dilupakan juga bahwa HGU dapat diwariskan. Politik hukum penguasaan (usaha) tanah pertanian yang diskriminatif dan tidak berdasar ini sangat tidak berorientasi jika dikaitkan dengan tujuan UUPA, yaitu meletakkan dasar-dasar hukum agraria nasional untuk menjamin kesejaheraan rakyat, terutama rakyat tani. Lebih dalam lagi keadaan itu tidak kondusif jika dikaitkan dengan asas-asas hukum keadilan, kelayakan dan/ atau kepatutan serta kepastian hukum.


Lembaga Waris Tanah Pertanian dan Waris Adat

Lembaga waris usaha tanah pertanian yaitu sistem peralihan usaha tanah pertanian yang ekonomis dan berkelanjutan, dari pewaris ke ahli waris yang memenuhi syarat.


Tujuan pengadaan lembaga waris usaha tanah pertanian seperti ini sebagai pengakuan profesionalitas petani yaitu untuk jaminan kesejahteraan petani (dan keluarganya) dan serta jaminan produk pertanian, baik kualitas maupun kuantitas, yang merupakan pendukung utama atau syarat adanya usaha tanah pertanian yang berkelanjutan. Petani yang sudah tua atau sakit-sakitan tidak dapat mengerjakan lagi tanah usaha pertaniannya, sehingga perlu dipikirkan keberlanjutan usaha tanah pertaniannya. Ahli waris dapat dari keturunan petani atau orang lain yang dipercaya oleh pewaris (melalui testamen dan/ orang yang dalam jangka waktu lama ikut bekerja mengusahakan tanah pertanian yang bersangkutan selama pewaris masih hidup).

Sekarang ini banyak tanah pertanian yang dikerjakan oleh petani-petani tua (gerontonisasi), karena para anak muda tidak tertarik (lagi) bekerja di bidang pertanian, yang condong tidak menguntungkan dan penuh resiko. Situasi seperti ini dan memperhatikan sistem hukum UUPA, perlu adanya pembentukan sistem waris usaha tanah pertanian Indonesia yang dapat melandaskan diri pada sistem kewarisan adat (sistem matrilineal, patrilineal atau parental/ bilateral) dikaitkan dengan sistem kemasyarakatan (sistem mayorat atau minorat laki-laki atau perempuan). Disisi lain perlu juga adanya hukum waris usaha tanah pertanian yang berlaku nasional, sebagai kerangka hukum waris usaha pertanian Nasional, yang berlaku bagi daerah yang nantinya tidak mempunyai atau tidak dapat mengadakan hukum waris adat usaha tanah pertanian.
Hanya saja untuk merealisasikan pemikiran pengadaan hukum tersebut masih banyak menghadapi kendala, karena dalam sistem hukum Nasional saja belum ada univikasi hukum waris Indonesia (masih dalam cita-cita), apa lagi hukum waris khusus usaha tanah pertanian. Hukum waris yang berlaku yaitu hukum waris adat, hukum waris yang bersumber pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Barat dan hukum waris berdasarkan hukum islam. Keadaan ini merupakan masalah tersendiri dalam Hukum Keluarga dan dapat menjadi potensi konflik pewarisan. Namun demikian dalam praktek masyarakat lebih condong memakai waris adat.

Kewarisan dalam hukum adat pada intinya berarti pemindahan kekayaan dari satu generasi ke generasi berikutnya (Sayuti Thalib, 1983), yang menonjolkan asas kemanfaatan, yang dalam sistemnya lebih memperhatikan anggota keluarga yang paling lemah (ekonominya). Pembagian waris dapat dilakukan sebelum pewaris meninggal dunia. Disamping itu harta warisan merupakan suatu kesatuan, dengan demikian harta tanah usaha pertanian hanya sebagai bagian dari keseluruhan, dan diberikan kepada siapa yang paling bermanfaat. Pada umumnya tidak ada sistem khusus pewarisan tanah (pertanian) adat.

Dalam pembentukan sistem waris usaha pertanian perlu diperhatikan peraturan-perundangan maupun praktek didalam masyarakat berkenaan dengan hak-hak yang sifatnya sementara (yang berasal dari hukum adat), seperti aturan jika pemegang gadai meninggal, haknya beralih pada ahli warisnya, penggarap yang meninggal dunia dalam perjanjian bagi hasil dilanjutkan oleh ahli warisnya, dengan hak dan kewajiban yang sama (syarat ahli waris calon penggarap pada dasarnya yaitu orang tani, tidak menguasai tanah lebih dari 3 hektar, kecuali ada izin), namun jika pemilik tanah garapan meninggal dunia maka perjanjian bagi hasil dapat hapus, dll.
Aspek-aspek yang terkait dalam usaha tanah pertanian seperti terurai di atas dapat menjadi bahan penelusuran untuk pengadaan data dan informasi pembangunan pendaftaran tanah usaha pertanian yang berkelanjutan dan bermasa depan.


BPN dan Peta Dasar

Tanah merupakan permukaan bumi di daratan maupun dibawah air, termasuk ruang diatas maupun dibawahnya, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya, yang mempunyai batas-batas tertentu, baik batas alam, batas administrasi, maupun batas-batas penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatannya, sebagai matriks utama ruang wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam sistem spasial kemasyarakatan dan kebangsaan Indonesia, yang dikelola untuk mencapai tujuan sebesar-besar kemakmuran rakyat secara berkeadilan, dalam harmoni sosial yang dinamis dan menjamin keberlanjutan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. (BPN, Penilaian Tanah Dalam Politik dan Kebijakan Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia, 2007).

Badan Pertanahan Nasional mendapat mandat dari Presiden untuk pelaksanaan tugas bidang pertanahan secara nasional, regional, dan sektoral (Peraturan Presiden no. 10 tahun 2006). Untuk melandasi tugas, tanggung-jawab dan kewenangannya tersebut BPN memberi definisi tanah seperti tersebut di atas, yang pada dasarnya suatu kewenangan pertanahan yang komprehensif (keagrariaan), yang pelaksanaan tugas dan kewenangannya, termasuk untuk menjalankan kewenangan pendaftaran tanah, tidak dapat lepas dari "kesiapan" dari perencanaan sektor-sektor lainnya, yang berhubungan dengan Land Use Planning yang berkelanjutan, serta konsistensi peraturan-perundangan yang melandasinya.

Dengan demikian tanggung-jawab dan kewenangan itu pada dasarnya merupakan bagian dari permasalahan poitik, konsep dan strategi sistem reforma agraria Indonesia. Sedangkan salah satu sumber dasar dan utama permasalahan agraria yaitu tiadanya peta dasar yang satu, yang seharusnya berfungsi sebagai salah satu modal konstruksi kebijakan yang mutlak bagi instansi-instansi pemerintah untuk dapat menjalankan organisasinya dengan baik, baik dari fase perencanaan, keuangan, pelaksanaan sampai kontrol.

Eksisnya multi peta dasar sulit atau tidak mungkin dipecahkan jika organisasi administrasi ke-agraria-an masih seperti sekarang ini dan tanpa perubahan, karena berkaitan dengan sejarah, kekuasaan -"domain"-, kewenangan, hukum dan tanggung jawab masing-masing instansi yang mempunyainya, yang berpotensi overlapping kekuasaan dan/ atau kewenangan atas suatu tanah dan konflik pertanahan. Dengan demikian kegiatan pendaftaran tanah menghadapi permasalahan yang tidak ringan.


Penutup

Lembaga pendaftaran usaha tanah pertanian, yang menjamin kepastian hukum, masih banyak menghadapi kendala mendasar yang harus diselesaikan terlebih dahulu, seperti konsep usaha pertanian yang berkelanjutan, peta dasar yang satu, perencanaan sektor-sektor dan tata ruang serta zonasi yang stabil, organisasi adminisrasi agraria, kebijakan carut-marut ke-agraria-an, dan seterusnya. Sementara kebijakan Land Reform belum mempunyai "roh" nya, baik untuk subyek, obyeknya maupun sistemnya. Oleh karena itu, perlu adanya langkah rasional dan konkrit dari Pemerintah dalam melaksanakan pembangunan agraria yang efektif dan efisien untuk mencapai tujuan. Untuk merealisasikannya, kiranya akan sangat sulit atau tidak mungkin jika tidak ada perubahan yang revolusioner terhadap keadaan aparat-pemerintah yang terperangkap dalam kondisi dan suasana organisasi administrasi ke-agraria-an yang memaksa egocentris (egoisme sektoral, egoisme intern-sektoral, jiwa kedaerahan yang berlebihan, dll.). Kunci permasalahan pertama yang harus dipecahkan untuk pendaftaran tanah yang berkelanjutan dan menjamin kepastian hukum yaitu pengadaan peta dasar yang satu sebagai landasan hak menguasai negara oleh Pemerintah sebagai kesatuan.


[Indonesia adalah negara agraria. Ironis, bahwa justru kaum petani banyak kehilangan sawah yang mereka tanami karena lahan pertanian tersandung permasalahan pendaftaran dan bisa diambil alih oleh pihak yang secara hukum dinyatakan lebih mempunyai 'hak'. Bagaimana hal ini bisa terjadi dan bagaimana rekomendasi penyelesaian pendaftaran tanah pertanian yang dapat menjamin kesejahteraan petani ?]

DR. Jur. Any Andjarwati
(Direktur Pusat Kajian Hukum dan Pertanian FH UGM)

KEBIJAKAN PEMANFAATAN LAHAN UNTUK KESEJAHTERAAN PETANI

rangga.afianto@gmail.com

KEBIJAKAN PEMANFAATAN LAHAN UNTUK KESEJAHTERAAN PETANI

*)


A. PENDAHULUAN

Lahan adalah salah satu sub-faktor teknis dalam pertanian, yang bekerjanya tidak dapat dilepaskan dengan sub-sub faktor lainnya dalam agrarian untuk mencapai tujuan.

Kebijakan pemanfaatan lahan utntuk kesejahteraan petani adalah suatu das Sollen di Indonesia, karena dalam kenyataannya sampai sekarang kebijakan pemanfaatan lahan tidak jelas dan nasib petani masih jauh dari sejahtera (das Sein). Kebijakan pemanfaatan lahan adalah bagian dari kebijakan pertanahan, yang dapat berupa prinsip-prinsip, norma-norma, pedoman-pedoman mengenai pertanahan yang dituangkan kedalam peraturan-perundangan dan/ atau keputusan-keputusan aparat pemerintah. Pelaksanaannya dapat berbentuk program-progam, misal. transmigrasi, extensifikasi pertanian dengan membuka lahan gambut, program kemitraan dibidang pertanian seperti PIR-Bun maupun PIR-peternakan, dll.. Lebih jauh kebijakan pertanahan adalah bagian dari kebijakan agraria secara keseluruhan (pertanahan, perairan, udara dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya). Untuk itu kebijakan pemanfaatan lahan membutuhkan kebijakan yang komprehensif.


B. PASAR TANAH DAN PETANI

Pasar Tanah (Land Market) mensyaratkan a.l. adanya "kebebasan berkontrak", "subyek-subyek bebas keluar masuk pasar", serta "kepastian hukum". Model seperti ini pada dasarnya hanya dapat diterapkan di negara-negara maju, yang sudah mempunyai sistim agraria (pertanian) yang relatif stabil.

Maraknya alih fungsi lahan pertanian ke non-pertanian, lebih banyak disebabkan oleh desakan ekonomi akan tuntutan kebutuhan hidup petani yang hidup dalam masyarakat industri, misalnya tuntutan kebutuhan sehari-hari, pendidikan, kesehatan, dll., seiring dengan nilai tukar hasil pertanian yang tidak menentu dan bahkan mempunyai resiko merugi. Sementara "pasar tanah" berjalan begitu saja tidak didukung oleh syarat-syarat yang layak yang harus dipenuhi, yang didesak oleh kebutuhan tanah untuk kegiatan industri dan jasa, infrastruktur, pemukiman, turisme, dll..

Di Indonesia subyek petani kebanyakan masih dalam posisi ekonomi lemah (bagian dari akibat kebijakan sistim pertanian yang tidak menjamin sustainibilitasnya), sementara kebebasan berkontrak pada dasarnya mensyaratkan adanya pihak-pihak dalam kedudukan yang "seimbang", disisi lain kepastian hukum di bidang pertanahan masih jauh (lihat uraian dibawah E).

Oleh karena itu, berjalannya "pasar tanah tak bersyarat" ini mendesak perlunya kerangka kebijakan pertanahan yang melindungi semua pihak, terutama pihak ekonomi lemah, mencegah cara-cara pemerasan, mencegah kerusakan lahan dan memelihara kesuburan lahan (jawaban untuk ini dapat dikaji uraian dibawah C, D,E,F,G).


C. TUJUAN POLITIK AGRARIA DALAM KERANGKA HUKUM

Sebagai Negara Hukum dan Negara Kesatuan Republik Indonesia menuntut politik agraria berpijak pada kerangka hukum, untuk menjamin kesejahteraan petani seimbang dengan mereka yang berkerja dibidang non-pertanian, menjamin pangan penduduk dengan harga yang pantas serta menjamin kelestarian lingkungan hidup dan pemeliharaan pemandangan.

Tujuan politik agraria Indonesia berdasarkan Penjelasan Umum I UUPA, yaitu untuk meletakkan dasar-dasar hukum agraria Nasional guna kesejahteraan rakyat, yang pertama dan utama untuk menjamin kesejahteraan rakyat tani, kedua untuk kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan dan ketiga untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah. Dengan demikian pertanian merupakan bidang penting, bahkan inti, dalam hukum agrarian Nasional, dimana petani sebagai titik pusat tujuannya. Tujuan politik agraria yang stabil adalah modal awal, dasar untuk pembentukan konsep dan strategi kebijakan agrarian.

Namun pendidikan hukum maupun praktek politik selama ini cenderung mengidentikkan tujuan agraria sama dan sebangun dengan tujuan nasional, yaitu untuk kesejahteraan rakyat. Pengertian itu sama seperti apa yang dicanangkan dalam visi BPN. Sedangkan Departemen Pertanian mempunyai visi meningkatkan produksi dan meningkatkan pendapatan petani. Visi ini rawan kebijakan tambal sulam dan tidak menjamin kesejahteraan petani dan pangan penduduk. Dengan demikian konstruksi untuk pembuatan konsep kebijakan agraria secara khusus tidak terpikirkan.

Jaminan kesejahteraan "petani" tidak dapat lepas dari kebijakan untuk sistim "usaha pertanian", yang sustainable. Sedangkan politik pertanahan pada dasarnya sebagai sub-tujuan politik agraria (baca= pertanian).

Di dalam era globalisasi, dimana negara satu saling bergantung dengan negara lainnya, menuntut adanya pengaturan-pengaturan khusus untuk masing-masing bidang guna memenuhi tuntutan kebutuhan-kebutuhan hidup manusia yang semakin komplek. Dengan ikutnya Indonesia dalam perjanjian pasar bebas WTO mau tidak mau bangsa Indonesia dituntut untuk dapat segera menata sistim agrarianya secara rasional, yang kewenangan dan tanggung-jawab utama di tangan Pemerintah.

D. STRUKTUR AGRARIA

Politik agraria berdasarkan hukum sebagai dasar pembentukan konsep strategi kebijakan pertanian yang stabil, melibatkan seluruh faktor teknis, faktor ekonomi dan faktor sosial (Agrarstruktur).

Penggunaan secara ekonomis yang berkelanjutan atas tanah subur untuk produksi tanaman (produksi primer, a.l. pangan, bahan pakan, dll) dan produksi hewan (produksi sekunder) pada dasarnya inti dasar pertanian. Berdasarkan pengertian itu dan dikaitkan dengan tujuan politik agraria berdasarkan hukum, orang dapat membagi struktur pertanian ke dalam tiga faktor, yaitu faktor tehnik, faktor ekonomi, faktor sosial. Faktor teknis yaitu tanah dan/ atau lahan, tenaga kerja (petani, pekebun, peternak, dll. sejenisnya), peraturan-perundangan, aparat pemerintah dan organisasinya, organisasi petani dan koperasi-koperasi petani, organisasi pedagang pertanian, perjanjian-perjanjian dalam pertanian, sarana produksi pertanian mis. Bibit, pupuk, dll.. Faktor ekonomi banyak dipengaruhi oleh pasar, pajak pertanian, pembiayaan resiko pertanian, pengeluaran untuk jaminan sosial, dll.. Faktor Sosial, hal-hal yang berkaitan dengan jaminan kesejahteraan petani a.l. jaminan kesehatan petani, jaminan haritua petani, jaminan kecelakaan kerja, dll. Oleh karena itu kebijakan sector pertanian tidak dapat lepas dari sector-sektor lainnya, a.l. kependudukan, sistim sosial, sistim ketenaga kerjaan, dll. "Pertanian" dalam agraria ibarat pokok pohon, jika diangkat (permasalahannya), maka seluruh akar-akar (permasalahan) dapat atau harus ikut diangkat pula, supaya tidak mati.


E. PERENCANAAN UMUM DAN PEMANFAATAN TANAH

Dalam rangka sosialisme Indonesia pemerintah wajib membuat perencanaan umum mengenai persediaan, peruntukkan dan penggunaan bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya.

Mengkaji amanat tersebut diatas adalah mutlak diadakan perencanaan umum, sebagai syarat, untuk keadilan sosial. Perencanaan umum terdiri dari perencanaan sector-sektor dan perencanaan tata ruang (ruang daratan, ruang per-airan dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah), termasuk peraturan zonasi (zoning regulation).

Dalam tata ruang antara perencanaan sektor-sektor, termasuk perencanaan sektor pertanian, rencana tata ruang, keuangan dan waktu menuntut diadakan dalam waktu bersamaan. Hal ini mempunyai kaitan erat dengan perlindungan lahan, yang dapat diklasifikasikan kedalam perlindungan tanah terhadap bahan yang merugikan (contoh karena bahan kimia, secara alami keadaan tanah berubah, sehingga mereduksi kesuburannya). dan perlindungan tanah terhadap penggunaan tanah/ perlindungan tanah secara fisik a.l. perlindungan terhadap pemandangan (penggunaan tanah quantitatif), perlindungan tanah dari beban struktur tanah atau penggunaan tanah qualitatif (perlindungan erosi, dll.). Perencanaan umum mutlak adanya sebagai syarat untuk perlindungan tanah dan dapat berjalannya sistim pengendalian dan pengawasan pemanfaatan lahan, yang dapat diselenggarakan melalui ijin mendirikan bangunan dan ijin-ijin lainnya.
Tiadanya kebijakan pertanian yang stabil dan terus-menerus, dapat diartikan tiadanya perencanaan sektor pertanian yang konstruktif, diikuti dengan permasalahan sektor-sektor lainnya, terutama sector public.

Hal ini dapat dilihat dalam bangunan organisasi Lembaga Administrasi Negara dan Struktur organiasi Kabinet), serta kompleksnya permasalahan data dan informasi sektor-sektor dalam Pemerintahan, misal. data kependudukan, data pertanian, data pertanahan, data perpetaan, dll. menyebabkan pertanyaan besar, apakah UU Tata Ruang yang kemungkinan "dipaksakan" dapat diimplementasikan dan tidak menimbulkan konflik dan permasalahan yang lebih besar antara pemerintah dengan pemerintah, pemerintah dengan rakyat serta rakyat dengan rakyat, terutama mengenai pemilikan dan/ atau penguasaan lahan .

Penggunaan lahan pertanian memerlukan kepastian hukum (Rechtsicherheit), baik mengenai subyek hak maupun obyeknya. Subyek berarti siapa saja yang boleh mempunyai dan/ atau menguasai (usaha) lahan pertanian, hal ini berkaitan dengan sistim peralihannya: jual-beli dan/ atau pewarisan usaha pertanian, sewa, dll. sedangkan obyek dapat dikaitkan dengan prinsip-prinsip luas lahan pertanian yang ekonomis, jangka waktu, hubungan lahan dengan benda-benda yang ada diatasnya, pemanfaatannya, dll.
Kebijakan pertanahan menghadapi berbagai masalah dasar antara lain:
- Politik agraria yang keluar dari kerangka hukum
- belum adanya peta dasar yang berprinsip "satu peta satu bumi".
- Belum adanya perencanaan umum Nasional: perencanaan sector-sektor dan rencana tata ruang serta zoning regulation (UUTR), yang secara rasional tidak dapat diimplementasikan karena dihadapkan pada permasalahan agraria, khususnya pertanahan a.l. multi peta dasar yang tidak menjamin kepastian hukum penguasaan dan/ atau kewenangan di bidang pertanahan, lemahnya data dan informasi.
- Tiadanya kepastian hukum akan Tanah Negara, Tanah Hak maupun Tanah Adat.
- Belum adanya konsep distribusi tanah negara yang bermasa depan
- Tiadanya perencanaan umum Nasional yang stabil menghambat dan/ atau tidak memungkinkan daerah membangun agraria daerahnya secara konstruktif.

Misal terdapatnya instansi vertikal yang ada didaerah a.l. BPN, Kantor Pajak, Notaris, dimana data-data dan informasi mengenai peralihan hak atas tanahnya tidak dipunyai daerah (dari desa sampai provinsi), karena belum ada mekanisme yang mengatur pemberian informasi data pertanahan kepada daerah.

- Kompleksnya permasalahan dasar agraria, menjadikan kebijakan pertanahan yang komprehensif terlupakan dan/ atau sulit dilaksanakan.
- Terdapat produk peraturan-perundangan yang sifatnya sektoral.
Melihat begitu kompleksnya permasalahan yang seharusnya untuk melandasi kebijakan pemanfaatan lahan pertanian maka harapan untuk mencapai kesejahteraan petani masih jauh, khususnya tiadanya kepastian hukum (Rechtsicherheit) menjadikan terancamnya asas-asas hukum lainnya yaitu asas keadilan (Gerechtigkeit) dan asas kepatutan/ kelayakan (Gesetzmaessigkeit).
Permasalahan reforma agrarian dengan latar belakang peraturan-perundangan sudah menjadi ciri negara berkembang seperti Indonesia, ditambah lagi dituntut untuk menyesuaikan kebijakan pertanian dengan perkembangan ekonomi seperti yang dialami oleh Negara-negara maju.

Dengan demikian peraturan-perundangan agraria, seperti peraturan-perundangan Landreform (UUPA, Perpu no. 56 tahun 160 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian, PP no. 224 tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Rugi, Hak sementara penguasaan tanah pertanian seperti sewa, bagi hasil, gadai, dll.), UU no. 18 tahun 2004 tentang Perkebunan, recana UU kebijakan lahan abadi, dll., serta program-program kebijakan pertanian lainnya perlu mendapat pemikiran serius dan prioritas Pemerintah dalam menjalankan pelayanannya dan tugas memakmurkan rakyat.


F. PUSAT - DAERAH UNTUK AGRARIA

Kebijakan Pemerintah mempunyai peranan yang menentukan untuk strategis bidang agraria, sebagai salah satu cabang ekonomi nasional, yang mempunyai permasalahan utama pada aspek-aspek kelembagaan sebagai titik paling lemah.
Dengan tiadanya politik agraria berdasarkan hukum, tiadanya konsep perbaikan agraria yang sustainable, menjadikan organisasi administrasi agraria tidak mempunyai struktur yang jelas dan kewenangan yang tidak jelas di bidang pertanahan dan/ atau pemanfaatan lahan dan/ atau hasilnya terpecah-pecah ke dalam berbagai insansi, a.l. Departemen Kehutanan, BPN, Departemen Pertanian, Departemen Perdagangan dan Perindustrian, dll., contoh: masalah produksi dan pasar beras ada ditangan antara lain Departemen Pertanian, Bulog serta Departemen Perindustrian dan Perdagangan, yang mekanismenya tidak jelas untuk jaminan kesejahteraan petani dan jaminan pangan penduduk secara sustainable. Disamping itu sistim pembangunan proyek dan target dan penyakit kronis administrasi yaitu egoisme sektoral (dan intern sektoral) menjadikan pemerintah membuat kebijakan tambal sulam.

Adannya pengakuan otonomi daerah, belum mendorong adanya pemerintah daerah secara langsung berupaya untuk memperbaiki sistim agraria secara komprehensif, serta menganggarkan secara khusus. Keadaan data keagrariaan tidak lengkap dan yang bersifat kuantitatif sangat lemah, peta lengkap belum tersedia, yang ada tidak detail dan parsial. Misal data dan informasi mengenai peralihan pemilikan dan/ penguasaan tanah serta pembebanannya terdapat pada instansi vertikal didaerah seperti BPN, Notaris, Kantor Pajak, dll. instansi pemilik peta dasar yang sifatnya sektoral. Sampai sekarang belum ada kewajiban dan mekanisme mengenai sharing pemberian data dan informasi mengenai keagrariaan pada pemerintahan daerah. Untuk penegakan otonomi daerah, hal tersebut mutlak dibutuhkan, untuk pemberdayaan dan/ atau dukungan secara penuh terutama terhadap desa, sebagai organisasi pemerintahan otonom terendah. Desa membutuhkan semua data dan informasi mengani desanya dari supra desa, untuk dapat digunakan secara terus-menerus, sehingga desa yang bersangkutan dapat membangun desanya secara konstruktif dalam kerangka pemerintahan negara kesatuan Republik Indonesia.

Dengan adanya seluruh data dan informasi secara terus-menerus pada setiap desa yang bersangkutan diseluruh Indonesia, Pemerintah dapat memanfaatkannya untuk dapat membuat Perencanaan Umum secara kontruktif (perencanaan sektor-sektor dan perencanaan tata ruang), yang sampai sekarang masih menjadi pekerjaan rumah yang luar biasa penting, besar dan mendesak untuk perbaikan Indonesia di masa kini dan dimasa depan.

Dalam era globalisasi dibutuhkan aparat pemerintah perdasarkan spesialisasi, sehingga dapat menciptakan aparat pemerintah yang berkarakter dan profesional, karena yang dituntut oleh rakyat yang utama adalah output, bukan proses. Untuk itu perlunya Lembaga Administrasi Negara (LAN) dan Menteri Aparatur Negara menata organisasinya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan, khususnya di bidang strategis agraria dan/ atau pertanian.


G. PENDIDIKAN PERTANIAN

Faktor-faktor dalam struktur pertanian menuntut konstruktif, sistimatis dan logis untuk mencapai tujuan, yang dapat digambarkan dalam suatu Sistim Kebijakan Pertanian Bermasa Depan. Bagaimana kita dapat menyuluh dan/ atau mentransfer data dan informasi dengan baik kepada petani sementara kita sendiri belum mengetahui benar sistemnya.

Pendidikan pertanian adalah hal pokok untuk mendukung kebijakan pertanian. Dengan permasalahan yang begitu komplek dan mendasar dan belum adanya Hukum Pertanian dalam Sistim Hukum Nasional Indonesia, mutlak diperlukan pembentukan sistim kebijakan pertanian Indonesia yang bertanggung-jawab. Sehubungan dengan itu Fakultas Hukum dan Fakultas Pertanian adalah dua institusi yang mempunyai tanggung jawab, yang bekerjanya tidak dapat dipisahkan.


PENUTUP
Kebijakan pertanian dimasa depan dibutuhkan re-orientasi politik pertanian dalam kerangka hukum, merekonstruksi organisasi administrasi pertanian dan/ atau agraria, berdasarkan konsep yang konstruktif, berdasarkan permasalahan yang ada, dan disusun secara sistimatis dan logis untuk dapat mencapai tujuan yang stabil.

Referensi
Budi Harsono, Hukum Agraria Indonesia: Himpunan Peraturan-Peraturan Hukum Tanah, Cetakan ke 17, Edisi revisi, Djambatan, Jakarta, 2006
Didik J. Rachbini, Analisis Kritis Ekonomi Politik Indonesia, cetakan ke-2, Yogyakarta, 2003
Henny Mayrowani/Tri Pranadji/Sumaryanto/Adang Agustian/Syahyuti/Roosgandha Elizabeth, Ringkasan Executif Laporan akhir Studi Prospek dan Kendala Penerapan Reforma Agraria di Sektor Pertanian, Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian, 2004
Hyun-Joon Kim, Bodenschutz Durch Bauplanungsrecht (Perlindungan tanah melalui hukum bangunan), Dissertasi, Universitas Goettingen, 1999.
Ja Noertjahyo, Dari Ladang Sampai Kabinet: Menggugat Nasib Petani, Kompas, Jakarta, 2005
Madekhan Ali, Orang Desa Anak Tiri Perubahan, Averoes press prakarsa, cetakan 1, Malang, 2007
Sujana Royat/Abdul Haris/Dadang Solihin/ Nana Apriyana (Editor), Rancangan Kebijakan Perpetaan Nasional untuk Mendukung Penataan Ruang, Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Jakarta, 2003
Warsito Utomo, Administrasi Publik Baru Indonesia: Perubahan Paradigma dari Administrasi Negara ke Administrasi Publik, cetakan I, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2006.
Wolfgang Winkler, Agrarrecht (Hukum Agraria), diambil dari Volkmar Goetz/ Karl Kroeschell/ Wolfgang Winkler (Editor), Hand Worterbuch fuer Agrarrecht, Band I.
Peraturan-perundangan terkait


*) Oleh Any Andjarwati

Senin, 08 Agustus 2011

Apa itu ULTRA VIRES dalam hukum ?

rangforjustice@gmail.com

Ultra Vires adalah istilah Latin yang berarti melampaui, melebihi  kewenangan atau kekuasaan yang dimilikinya. Padanan katanya “beyond the powers”. Apabila perbuatan kekuasaan dari otoritas publik atau privat dianggap berlebihan atau melampau kekuasaan yang dimilikinya, maka perbuatannya, sebuah peraturan perundang-undangan atau kebijakan yang dikeluarkan adalah tidak sah.


Di dalam hukum perseroan (perdata), doktrin ultra vires pada prinsipnya merupakan tindakan hukum direksi yang tidak mengikat perseroan, dikarenakan yaitu: tindakan yang dilakukan berada di luar maksud dan tujuan perseroan dan di luar kewenangan yang diberikan kepadanya berdasarkan undang-undang yang berlaku dan anggaran dasar perseroan. Anggota direksi yang melakukan ultra vires adalah tidak sah dan bertanggung jawah secara pribadi atas kerugian yang diderita perseroan dan tidak mengikat bada hukum. Doktrin ini juga berlaku di hukum Internasioanl sesui dengan karakter masing-masing.


Dalam sistem hukum Inggris the ultra vires rule dapat digunakan sebagai alasan untuk melakukan pengujian atau judicial review atas norma umum dan kongkrit. Apabila kekuasaan otoritas publik berlebihan atau melampaui kewenangannya sendiri maka peraturan atau keputusan itu tidak sah berdasarkan doktrin ultra vires. Setiap badan administrasi negara dalam melaksanakan kewenangannya dianggap sah apabila berdasar batas-batas kewenangan yang dimilikinya. Menurut David Foulkes (1986) Ultre vires doctrine meliputi sebagai berikut: (a) The essence of the ultra vires doctrine; (b) A hierarchy of powers; (c) the doctrine applied; (d) the fairly incidental rule; (e) Ultra vires by omission; dan (f) Some presumtion.


Berdasarkan UU No.9 Tahun 2004 tentan Perubahan UU No. 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara alasan-alasan gugatan yaitu: Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik. Sehingga ultra vires dapat menjadi salah satu alasan untuk mengajukan gugatan terhadap Keputusan Tata Usaha Negara. Disamping itu, berdasarkan UU Mahkamah Agung, ultra vires sesuai pengertian yuridis dapat menjadi dasar menguji legalitas peraturan di bawah undang-undang di Mahkamah Agung (judicial review on the legality of regulation).


Lembaga negara bisa melakukan ultra vires. MK berwenang menyelesaikan sengketa kewenangan lembaga negara, dengan dasar kebutuhan sebuah prosedur penyelesaian sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD yang tidak semata-mata berdasarkan pendekatan kekuasaan. Untuk menjamin mekanisme kerja yang terdapat dalam undang-undang dasar berjalan semestinya dan lembaga negara tidak melampau kewenangan yang dimilinya (ultre vires), perlu dikembalikan kepada mekanisme yang seharusnya. Koreksi hukum terhadap inkonstitusionalitas mekanisme tersebut dilakukan oleh MK.


MK sendiri memiliki empat kewenangan sebagai berikut: (1) menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, (2) memutus sengketa kewenagan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang dasar, (3) memutus pembubaran partai politik, (4) dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Selain itu memiliki satu kewajiban yaitu memberi putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.
Sehingga MK biasa disebut sebagai The Guardian and The Interpreter of The Constitution. Selain kewenangan dari konstitusi, undang-undang atau Peraturan Mahkamah Konstitusi dapat mengatur hal-hal agar fungsi dan kedudukannnya dapat berjalan sebagaimana mestinya sepanjang tidak bertentangan dengan UUD 1945 itu sendiri.