R A N G G A A F I A N T O a n d P a r t n e r s

Counselor at Land, Forest and Mining Law & Litigation

Sabtu, 03 September 2011

seputar HUKUM ADAT dalam tinjauan teoritis normatif


I. PENGENALAN HUKUM ADAT

A   Istilah  Kebiasan, adat dan Hukum Adat
Istilah kebiasaan merupakan istilah yang umum  dipakai  dlam kehidupan masyarakat.  Selain itu juga ada istilah adat yang juga mempunyai persamaan dan perbedaan dengan kebiasaan. Dalam masyrakat minang dikenal istilah adt istiadat, adapt nantar adapt dan adapt nan diadatkan.
Istilah  Hukum Adat berasal dari terjemahan Adatrecht, yang mula-mula dikemukakan oleh Snouck Hurgronje, kemudian dipakai oleh Van Vollenhoven. Istilah yang dipergunakan sebelumnya dalam perundang-undangan adalah Peraturan Keagamaan (Godsdienstige Wetten) karena pengaruh ajaran Receptio in Complexu dari Van Den Berg dan Salmon Keyzer.
 Pada masa Hindia Belanda ada Adatrecht (Hukum Adat) yang berlaku bagi orang-orang yang tidak tunduk kepada KUH Perdata dan Gewoonte Recht (Hukum Kebiasaan) yang berlaku bagi mereka yang tunduk kepada Hukum KUHPerdata.
Perbedaan istilah dan pengertian (Hukum Adat dan Kebiasaan) itu harus dihilangkan karena lambat laun tidak ada lagi perbedaan antara golongan Eropa, Indonesia dan Timur Asing melainkan hanya ada perbedaan Warga Negara Indonesia dan Orang Asing (Mahadi). Maka sebaiknya digunakan satu istilah saja yaitu Hukum Adat  (sebagaimana yang telah dipakai dalam UUPA).
B.  Pengertian Hukum Adat
Banyak pengertian atau difinisi Hukum Adat yang telah ditulis oleh para ahli Hukum Adat, tetapi disini hanya akan dikemukakan beberapa contoh saja. Menurut Van Vollenhoven Hukum Adat adalah keseluruhan aturan tingkah laku positif yang di satu pihak mempunyai sanksi (oleh karena itu “hukum”) dan di lain pihak, dalam keadaan tidak dikodifikasikan (oleh karena  itu “adat”).
Menurut Soepomo, istilah Hukum Adat dipakai sebagai sinonim hukum yang tidak tertulis di dalam peraturan legeslatif  (non statutory law), hukum yang hidup sebagai konvensi di badan-badan hukum negara (Parlemen, Dewan Propinsi dan seterusnya), hukum yang timbul karena putusan-putusan hakim (judge made law), hukum yang hidup sebagai peraturan kebiasaan yang dipertahankan dalam pergaulan hidup, baik di kota-kota maupun di desa-desa (customary law).
Hazairin menyatakan, bahwa dalam sistem hukum yang sempurna tidak ada tempat bagi sesuatu yang tidak selaras atau bertentangan dengan kesusilaan. Adat adalah endapan kesusilaan dalam masyarakat, yaitu bahwa kaidah-kaidah adat itu berupa kaidah-kaidah kesusilaan yang kebenarannya telah mendapat pengakuan umum dalam masyarakat maka Hukum Adat adalah hukum yang berurat berakar pada kesusilaan.
Kesimpulan Seminar Hukum Adat dan Pembangunan Nasional tahun 1975 yang diselenggarakan atas kerja sama BPHN dan Fak. Hukum UGM mendifinisikan Hukum Adat sebagai :Hukum Indonesia asli yang tidak tertulis dalam bentuk perundang-undangan RI yang di sana sini mengandung unsur agama).
Pendapat Dosen mengenai Hukum Adat merupakan  hukum rakyat (folk law) sebagai  lawan hukum negara (state law) yaitu hukum yang dibuat oleh rakyat dan diberlakukan  untuk rakyat dan dilaksanakan secara sukarela oleh rakyat tanpa ada paksaan dari penguasa sehingga merupakan hukum yang hidup tumbuh dan berkembang bersama masyarakat (the living law).
  
C.   Ciri-ciri Hukum Adat
Hukum Adat mempunyai kekhususan yang menjadi ciri-cirinya dan membedakannya dengan hukum lain, yaitu:
a.   Religio magis/ Keagamaan
      Bangsa Indonesia adalah bangsa yang religius, dan hal itu menjiwai hukum yang diciptakannya, yaitu Hukum Adat. Dalam perbuatan hukum seperti pembukaan tanah, perkawinan tampak jelas adanya sifat religius itu.
b.   Kebersamaan
      Berbeda dengan hukum barat yang berpusat pada individu, maka hukum adat berpusat kepada masyarakat. Kepentingan bersama lebih diutamakan, sedangkan kepentingan individu diliputi oleh kepentingan bersama (bermuatan publik). Hal itu dapat dilihat misalnya pada rumah gadang dan tanah pusaka di Minangkabau, tanah dati di Ambon, tanah Karang Desa dan Ayahan Desa di Bali. Namun demikian pengutamaan kepentingan bersama itu bukan berarti kepentingan perorangan diabaikan.
c.   Tradisional
      Kata “tradisional” berasal dari kata benda “tradisi” yang menurut Myror Wemwr berarti: “the biliefs andpracticies handed down from the past, as we reinterpret our past, the tradition change”. Hukum Adat pada hakekatnya adalah tradisi juga, yaitu praktek kehidupan warga masyarakat dalam pergaulan hidup bermasyarakat yang dianggap benar oleh norma-norma yang diciptakannya sendiri dan diberi daya memaksa dengan sanksi bagi yang melanggarnya, norma yang dipraktekkan tersebut berasal dari warisan masa lalu yang selalu diperbaharui dengan diadakan reinterpretasi agar sesuai dengan tuntutan jaman dan keadaan serta perubahan masyarakat. Maka Hukum Adat yang tradisional itu tidak statis.
d.  Konkrit 
     Sifat hubungan hukum dalam Hukum Adat adalah konkrit, artinya nyata,
     Dapat dirasakan oleh panca indra.
e. Terang, dan tunai,
    Terang artinya tidak samar-samar, dapat dilihat, diketahui, disaksikan dan didengar orang lain, misalnya pada “ijab kabul”, pemberian panjer dan peningset sebelum terjadinya jual beli dan perkawinan.
      Tunai artinya setiap ada perbuatan hukum  terjadi secara bersamaan  
      antara  penyerahan dengan penerimaan.
f.   Dinamis dan plastis
      Dinamis artinya dapat berubah sesuai dengan perkembangan jaman dan perubahan masyarakat, sedangkan plastis dapat menyesuaikan diri dengan keadaan.
g.   Tidak dikodifikasi
     Hukum Adat kebanyakan tidak tertulis, walaupun ada yang tertulis seperti awig-awig di Bali. Karena bentuknya yang tidak tertulis maka mudah berubah menyesuaikan diri dengan perkembangan masyarakat jika mereka menginginkannya.
h.   Musyawarah dan Mufakat
      Hukum Adat mementingkan musyawarah dan mufakat dalam melakukan perbuatan dan hubungan hukum di dalam keluarga, kekerabatan dan masyarakat bahkan dalam penyelesaian sengketa. Hukum Adat, menurut Koesnoe, sebagai hukum rakyat pembuatnya rakyat sendiri, mengatur kehidupan mereka yang terus menerus berubah dan berkembang malalui keputusan-keputusan atau penyelesaian-penyelesaian yang dikeluarkan oleh masyarakat sebagai temu rasa dan temu pikir lewat musyawarah. Hal-hal lama yang tidak dipakai diubah atau ditinggalkan secara tidak mencolok. Ciri-ciri kebersamaan, tradisional, dinamis, plastis, tidak dikodifikasikan, musyawarah dan mufakat adalah saling berkaitan dan saling mendukung satu sama lain.

 

II. SISTEM DAN DASAR BERLAKUNYA HUKUM ADAT

A.  Sistem Hukum Adat
Hukum yang berlaku pada masyarakat atau bangsa tertentu dapat dipastikan merupakan suatu sistem. Hal ini dikarenakan peraturan-peraturan yang berlaku pada suatu masyarakat umumnya merupakan kebulatan tekad berdasarkan atas kesatuan alam pikiran masyarakat yang bersangkutan. Sistem Hukum Adat bersendi atas dasar-dasar alam pikiran bangsa Indonesia, yang tentu saja tidak sama dengan alam pikiran yang menguasai sistem hukum barat (Soepomo). Menurutnya antara sistem Hukum Adat dan Hukum Barat (Eropa Kontinental) terdapat perbedaan yang fundamental; antara lain:
1. Hukum Eropa Kontinental  mengenal “hak kebendaan” (zakelijkrechten), yaitu hak atas sesuatu barang yang berlaku terhadap setiap orang (misalnya hak milik, hak hipotik).  Di samping itu, Hukum Barat juga mengenal “hak perorangan”  (persoonlijkrechten), yaitu hak orang seorang atas suatu obyek yang hanya berlaku terhadap sesuatu orang lain yang tertentu (misalnya hak sewa, hak pakai). Berbeda dengan konsep itu, Hukum Adat tidak mengenal pembagian hak dalam dua golongan tersebut. Perlindungan hak-hak menurut Hukum Adat  diserahkan ke tangan hakim. Jika terjadi sengketa , maka hakimlah yang diberi kewenangan untuk menimbang berat ringannya kepentingan hukum yang saling bertentangan dalam masyarakat yang bersangkutan.
2. Sistem Hukum Eropa Kontinental mengenal pembagian  hukum menjadi “hukum publik”, yaitu hukum yang mengatur kepentingan umum dan “hukum privat”, yaitu hukum yang mengatur kepentingan khusus (perorangan/privat). Hukum publik dipertahankan oleh pemerintah dan hukum privat dipertahankan eksistensinya oleh para individu yang berkepentingan.
Hukum Adat tidak mengenal pembagian hukum seperti di atas, jika akan dibedakan dalam Hukum Adat, maka pembedaan pada hukum ini akan didasarkan  menurut obyek yang diaturnya, misalnya Hukum Tanah, Hukum Perkawinan, maupun Hukum Waris. Di dalam Hukum Adat hak-hak perdata yang dipunyai seseorang mengandung muatan hak publik. Implikasi persoalan seperti ini mempengaruhi kepada pembidangan hukumnya. Dalam Hukum Tanah misalnya diatur tentang hak milik, suatu hak yang dipunyai oleh seorang individu tetapi di dalam hak itu terkandung juga mempunyai fungsi sosial (ada muatan publiknya). Individu menurut Hukum Adat adalah sebagai anggota masyarakat, tetapi jika tanah miliknya diperlukan oleh masyarakat seyogyanya mendapatkan ganti rugi yang sepadan atau bahkan lebih dari itu sebagai imbalan pengorbananya.
3. Dalam Hukum Eropa kontinental dibedakan pelanggaran yang bersifat pidana sehingga hanya akan diperiksa oleh hakim pidana; dan pelanggaran yang bersifat perdata yang hanya akan diperiksa oleh hakim perdata. Menurut Hukum Adat apabila ada dua jenis pelanggaran (pidana dan perdata) yang dilanggar, maka pihak pelanggar aturan itu akan diperiksa dan diputus sekaligus dalam satu persidangan yang tidak terpisah. Dengan demikian diharapkan keseimbangan yang terganggu dalam kehidupan masyarakat dapat dipulihkan secara proporsional sekaligus.
4. Sistem accessie dan sistem pemisahan horisontal
Hukum Eropa Kontinental (Kitab Undang-undang Hukum Perdata) menerapkan sistem accessie atas kesatuan benda, yaitu benda tambahan atau pelengkap mengikuti (menjadi satu dengan) benda induknya. Dengan demikian suatu benda pokok dan benda-benda lain yang terletak atau tertanam pada benda tersebut (natrekking) secara otomatis menjadi satu kesatuan. Dalam Hukum Adat khususnya untuk benda-benda selain tanah diterapkan sistem accessie , sedangkan untuk benda yang berujud tanah dan benda-benda lain yang terletak atau tertanam pada tanah itu digunakan sistem pemisahan horisontal. Sistem Hukum Adat ini kemudian dipakai dalam UUPA, yaitu mengenai Hak Guna Bangunan (psl. 35), Hak Guna Usaha (psl. 28) maupun Hak Pakai seperti pada pasal 41 UU. No. 5 Tahun 1960.
5.Sistem common Law  
Berlainan dengan sistem hukum Eropa Kontinental, sistem hukum Inggris (Common Law) banyak persamaannya dengan Hukum Adat. Djojodigueno menyatakan:”dalam negara Anglo Saxon, di sana sistem common law tak lain dari sistem hukum adat, hanya bahannya berlainan. Dalam sistem Hukum Adat bahannya ialah hukum Inidonesia asli, sedang dalam sistem common law bahannya memuat banyak unsur-unsur hukum Romawi Kuno, yang konon katanya telah mengalami “Receptio in Complexu”. Sistematika Hukum Adat mendekati hukum Inggris, yang tidak mengenal perbedaan antara hukum publik dan hukum privat, tidak membedakan antara hak kebendaan dan hak perorangan dan tidak membedakan antara perkara perdata dan perkara pidana (Hilman Hadikusuma). Hukum Inggris juga mengenal peradilan yang menyelesaikan perkara secara damai yang disebut Justice of the Peace,yang mirip dengan “peradilan adat” (peradilan desa/hakim perdamaian desa).

     B. Sumber Hukum Adat
Menurut MM. Djojodigueno ada dua kategori sumber hukum, yaitu:
a.   Kekuasaan pemerintah negara atau salah satu sendinya.
Kekuasaan pemerintah sebagai sumber hukum dinyatakan dalam wujud sebagai berikut :
1)  Peraturan, yaitu pernyataan kekuasaan legeslatif (kekuasaan mengatur).
2)  Putusan Penjabat-penjabat kekuasaan negara lainnya, yaitu kekuasaan eksekutif (kekuasaan pelaksanaan) dan kekuasaan yudikatif (kekuasaan mengadili). Yurisprudensi adalah pernyataan kekuasaan yudikatif.
3) Perjanjian Internasional dan pernyataan perang serta segala tindakan untuk melaksanakan perang itu sendiri.
b.   Kekuasaan masyarakat sendiri
1) Perbuatan rakyat sendiri dalam menyelenggarakan dan melaksanakan perhubungan pamrihnya, yang mungkin menebal menjadi adat kebiasaan.
2)  Putusan rakyat dalam peragaan yang tertentu, misalnya putusan Kamer van Koophandel, vereniging van assuradeuren, rukun kampung,rukun tetangga, perhimpunan kematian (perhimpunan sripah) dsb.
3)   Pemberontakan terhadap penguasa yang ada.
      Hukum Adat adalah hukum yang bersumber kepada 1b,c serta 2a-c. Selain itu pepatah adat juga dapat digunakan untuk mendapatkan sumber bagi berlakunya asas hukum. Misalnya, harta peninggalan pewaris yang tidak cukup untuk melunasi hutang kepada para kreditur, maka dibayar secara proporsional dengan menggunakan asas yang diambil dari pepatah adat: “Gadang agak berumpuk kecil agak bercacak” Putusan Landraad Pariaman, 13-5-1937).

III. DASAR BERLAKUNYA HUKUM ADAT
   A.  Dasar filosofis
Adapun yang dimaksud dasar filosofis dari Hukum Adat adalah sebenarnya nilai-nilai dan sifat Hukum Adat itu sangat identik dan bahkan sudah terkandung dalam butir-butir Pancasila. Sebagai contoh, religio magis, gotong royong, musyawarah mufakat dan keadilan. Dengan demikian Pancasila merupakan kristalisasi dari Hukum Adat.
 Dasar Berlakunya Hukum Adat ditinjau dari segi Filosofi Hukum  Adat yang hidup, tumbuh dan berkembang  di  indonesia sesuai  dengan perkembangan jaman yang berfiat  luwes,  fleksibel   sesuai  dengan nilai-nilai Pancasila seperti yang tertuang  dalam pembukaan UUD 1945. UUD 1945 hanya menciptakan pokok-pokok pikiran yang  meliputi  suasana kebatinan  dari UUD RI. Pokok pokok pikiran  tersebut menjiwai cita-cita hukum  meliputi hukum negara  baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Dalam pembukaan UUD 1945   pokok pokok  pikiran yang menjiwai  perwujudan cicta-cita hukum   dasar negara  adalah  Pancasila. Penegasan   Pancasila  sebagai  sumbertertib  hukum  sangat berarti bagi  hukum adat karena Hukum  Adat berakar  pada  kebudayaan  rakyat  sehingga  dapat    menjelmakan  perasaan  hukum   yang  nyata  dan hidup  dikalangan  rakyat  dan mencerminkan kepribadian masyarakat dan bangsa Indonesia (Wignjodipoero,  l983:14). Dengan demikian hukum adat  secara  filosofis merupakan  hukum yang berlaku sesuai Pancasila sebagai  pandangan hidup atau falsafah hidup bangsa Indonesia.
 B.   Dasar sosiologis
Hukum  yang berlaku di suatu negara merupakan  suatu  sistem artinya bahwa hukum itu merupakan tatanan, merupakan satu kesatuan  yang utuh yang  terdiri dari bagian-bagian  atau  unsur-unsur yang saling berkaitan satu sama lainnya (Mertokusumo,  l986:100). Dengan  kata lain bahwa sistem hukum adalah suatu kesatuan   yang terdiri  dari  unsur-unsur  yang mempunyai  interaksi  satu  sama lainnya dan bekerja bersama untuk mencapai tujuan.  Keseluruhan   tata hukum nasional yang berlaku di  Indonesia dapat disebut sebagai sistem hukum nasional. Sistem hukum berkembang  sesuai dengan perkembangan hukum. Selain itu  sistem  hukum  mempunyai sifat yang berkesinambungan, kontinyuitas dan  lengkap. 
Dalam  sistem hukum nasional wujud/ bentuk hukum yang  ada  dapat dibedakan  menjadi   hukum tertulis ((hukum yang  tertuang  dalan perundang-undangan)  dan hukum yang tidak tertulis  (hukum  adat,
hukum kebiasaan).
Hukum  yang berlaku di suatu negara dapat dibedakan  menjadi hukum yang benar-benar berlaku sebagai the living law (hukum yang hidup)  ada hukum yang diberlakukan tetapi tidak berlaku  sebagai the  living  law. Sebagai contoh Hukum yang berlaku  dengan  cara diberlakukan adalah hukum tertulis yaitu dengan cara  diundangkan dalam  lembaran negara.  Hukum tertulis dibuat ada  yang  berlaku sebagai the living law tetapi juga ada yang tidak berlaku sebagai the  living law karena tidak ditaati/ dilaksanakan  oleh  rakyat.
Hukum  tertulis yang diberlakukan dengan cara  diundangkan  dalamlembaran  negara  kemudian dilaksanakan dan ditaati  oleh  rakyat dapat dikatakan sebagai hukum yang hidup (the living law.)
Sedangkan hukum tertulis yang walaupun telah diberlakukan  dengan cara  diundangkan dalam lembaran negara tetapi  ditinggalkan  dan tidak dilaksanakan oleh rakyat  maka tidak dapat dikatakan  sebagai the living law. Salah satu contohnya  adalah UU nomor 2 tahun 1960 tentang Bagi hasil.
Hukum adat sebagai hukum yang tidak tertulis tidak  memerlukan prosedur/ upaya seperti hukum tertulis, tetapi dapat  berlaku dalam  arti dilaksanakan oleh masyarakat dengan sukarela   karena memang itu miliknya. Hukum adat dikatakan sebagai the living  law karena Hukum adat berlaku di masyarakat, dilaksanakan dan ditaati oleh  rakyat  tanpa  harus melalui  prosedur  pengundangan  dalam lembaran negara. 
Berbagai  istilah untuk menyebut hukum yang  tidak  tertulis sebagai  the living law yaitu : People law, Indegenous  law,  unwritten law, common law, customary law dan sebagainya.



 C.   Dasar yuridis
Dasar Berlakunya Hukum Adat Ditinjau Secara Yuridis dalam     Berbagai Peraturan Perundang-undangan
Mempelajari segi Yuridis dasar berlakunya Hukum Adat berarti mempelajari  dasar  hukum  berlakunya  Hukum  Adat  di  Indonesia (Saragih, l984:15). Berdasarkan fakta sejarah dapat dibagi  dalam dua  periode  yaitu pada jaman Kolonial (penjajahan  Belanda  dan Jepang) dan jaman Indonesia Merdeka.
A. Jaman Kolonial (Penjajahan Belanda dan Jepang)
Sebelum  Konstitusi RIS berlaku yaitu pada jaman  penjajahan Jepang,  terdapat peraturan Dai Nippon yaitu Osamu Sirei pasal  3 menentukan bahwa peraturan-peraturan sebelumnya juga masih  tetap berlaku. Ketentuan yang ada pada waktu sebelum penjajahan  Jepang adalah ketentuan pasal 75 baru RR yang pada tahun l925  diundangkan  dalan  Stb  nomor 415 Jo 577 berlaku mulai  1  januari  1926 
dimasukkan  dalam pasal 131 IS _(Indische Staatsregeleing)   lengkapnya  wet op de staatsinrichting  van Nederlands Indie.  
Ketentuan  tersebut juga merupakan penyempurnaan dari  pasal  75  ayat 3 lama RR l854 _(Regeringsreglemen) lengkapnya  Reglement op  het  beleid   der regering van  Nederlands  Indie_  (Peraturan tentang  kebijaksanaan pemerintah di Hindia Belanda ) stb  no.  2 tahun 1854 (belanda) dan Stb nomor 2 jo 1 1855 (Hindia Belanda) .Pasal  75  lama RR terdiri dari 6 ayat   (Mahadi,  1991:1-2)
yaitu:.
(1). Sepanjang mengenai golongan Eropa, pemberian keadilan dalam      bidang  hukum  perdata juga dalam hukum  pidana   didasarkan      pada _verordering-verordering umum, yang sejauh mungkin  sama      bunyinya dengan undang undang yang berlaku di negeri  Belanda.
(2).  Gubernur Jendral berhak  menyatakan  berlaku  aturan-aturan   yang  dipandang  pantas, dari _verordering-verordering tersebut bagi golongan orang orang bumi putra. Jika perlu aturan-     aturan tersebut boleh dirubah.
(3)  Kecuali secara suka rela  orang Bumi putra menundukkan  diri      ke  dalam  hukum  perdata Eropa, maka  dalam  memutus  suatu      perkara hakim  mempergunakan Hukum Adat.
     Pada  waktu  itu istilah untuk menyebut  Hukum  Adat  dengan      berbagai  macam  yaitu: (1) UU agama,  (2)l  Lembaga-lembaga      golongan  bumi putra dan (3) Kebiasaan golongan  bumi  putra  sepanjang  tidak bertentangan dengan  asas-asas yang diakui      umum  tentang kepatutan dan keadilan (4), (5) dan seterusnya tidak begitu penting bagi hukum adapt (6).  Jika hukum adat tidak mengatur tentang suatu  perkara  yang       diajukan  ke  pengadilan  maka  hakim  memberikan  keadilan     kepada  golongan bumi putra mengambil asas-asas umum   dari       hukum perdata Eropa.
Menurut Mahadi (l991:2) pengertian Verordering  umum   dalam  pa0sal 75  RR meliputi:-  Wet (UU) yang dibuat di negri Belanda  oleh DPR belanda bersa-
   ma-sama  raja Belanda.
- AMVB (Algemene  Maatregel van Bestuur)_ peraturan yang dibuat
   oleh  raja Belanda untuk menjalankan suatu undang undang  yang
   di Indonesia dikenal dengan Peraturan Pemerintah (PP).
-  Ordonansi  yaitu peraturan yang dibuat oleh  Gubernur  Jendral 
   bersama-sama  Raad  van  Indie (Dewan  Hindia  Belanda)   juga
   dengan Volksraad (DPR). Di Indonesia  disebut UU
-  RV  (regeringsverordering) yang dibuat oleh  Gubernur  Jendral 
   untuk menjalankan  Ordonansi.  
Pasal  75 lama  RR merupakan hasil perubahan dan  penyempurnaan  dari ketentuan pasal 11 AB _(Algemene Bepalingen van    Wetgeving).  Pasal 75 lama RR berlaku sampai tanggal 1 Januari  1920 dan sejak tanggal itu pasal 75 lama RR mendapat perubahan   yaitu menjadi pasal 75 baru RR. Sebenarnya perubahan tersebut di Belan
da sudah terjadi pada tahun 1906 dengan Stb nomor 346. diikuti di Indonesia  pada tahun l907 dengan Stb nomor 204,  tetapi  sebelum berlaku,  pada  tahun  yang sama (l907) pasal 75  baru  RR  sudah mengalami  perubahan lagi dengan Stb 286 di Belanda dan  stb  no. 621  di Indonesia. Pada tahun l920 RR baru dirubah lagi dan  pada tahun l925 RR dimasukkan ke dalam pasal 131 IS yang  diberlakukan mulai tahun 1926 dengan Stb nomor 415 jo 577 tahun l925. Pasal  131 ayat 2 sub b IS berisi  tentang  ketentuan  bahwa bagi golongan hukum bumi putra dan timur asing berlaku hukum adat mereka, _tetapi dengan pembatasan _(Sudiyat, l981:24):
1. Jika kepentingan sosial mereka  membutuhkan  maka pembuat   ordonansi  (Gubernur  jendral dan Voksraad)  dapat  menentukan     bagi mereka:
   a. Hukum Eropa
   b. Hukum Eropa yang telah diubah
   c. Hukum bagi  beberapa golongan bersama-sama
2. Jika kepentingan umum  memerlukan maka bagi mereka  dapat    ditentukan  yaitu  hukum baru yang merupakan   sintesa  antara    Hukum Adat  dan Hukum Eropa.
Pasal  131 IS ditujukan kepada pembuat ordonansi untuk  membuat kodifikasi hukum privat bagi Bumi putra dan timur asing  dan bukan  kepada hakim. Masalahnya: ketika pembuat  ordonansi  belum sempat membuat kodifikasi yang dimaksudkan maka   apa yang menjadi  pegangan  bagi hakim?. Jawab: berdasarkan pasal  131  ayat  6 (merupakan  ketentuan peralihan) yaitu selama hukum  perdata  dan hukum  dagang  yang sekarang  berlaku bagi Bumi Putra  dan  Timur Asing   belum diganti dengan kodifikasi  maka hukum yang  berlaku bagi  mereka  adalah Hukum Adat mereka sebelum  tahun  1920  yang
ditentukan  dalam pasal 75 RR 1854.  Menurut Muhammad  (1991:45),
Karena kodifikasi belum terlaksana maka kedua kekuasaan  istimewa hakim   mengenai  Hukum Adat tetap dapat  dijalankan  atas  dasar bukan  asas  konkordansi seperti pada jaman dahulu,  tetapi  yang menjadi  ukuran  bagi  hakim adalah asas-asas  hukum  harus  yang dipertahankan   dalam suatu negara hukum yang  merdeka  berdaulat berdasarkan UUD 45 dan Pancasila.
Perbedaan antara pasal 131 IS dengan pasal 75 lama RR antara
lain:
1. Hukum Adat dirumuskan secara berbeda dalam kedua pasal 75 lama    RR  dan  131 IS (Mahadi, l991:17). Dalam pasal 75  lama  Hukum    Adat  dirumuskan sebagai UU agama lembaga-lembaga  dan  kebia   saan-kebiasaan golongan bumi putra. Dalam pasal 131 IS, Hukum   Adat  dirumuskan   sebagai norma hukum  yang  erat  hubungannya    dengan  agama  dan  kebiasaan-kebiasaan.  Rumusan  Hukum  Adat    menurut  pasal  75 lama RR dipengaruhi oleh pendapat  van  den    Berg  yang dikenal dengan teori resepsi (_Recetio in complexu)
2. Pasal 75 RR ditujukan kepada hakim sedang 131 ditujukan kepada pembuat UU.
3. Pasal 75 lama  RR tidak ada kemungkinan bagi BP untuk   menun   dukkan  diri kepada hukum baru, sedangkan 131 IS  ada  kemung   kinan untuk itu.
4. Pasal 75 lama RR memuat ketentuan tentang pembatasan terhadap berlakunya Hukum Adat yaitu Hukum Adat tidak diberlakukan jika    bertentangan dengan  asas-asas keadilan. 1 Pembatasan  ini tidak ada dalam pasal 131 IS. Pasal   134   ayat 2 IS menentukan bahwa  dalam  hal  timbul perkara   antara orang muslim  dan hukum adat  memeinta  penyelesaiannya maka penyelesaian perkara tersebut diselenggarakan  oleh hakim agama kecuali ordonansi menetapkan lain.
Pasal 131 dan 134 IS hanya berlaku bagi hakim Landraad (PN), sedangkan bagi hakim Peradilan Adat _(inheemse rechtspraak) dasar hukumnya  adalah pasal 3 stb nomor 80 tahu 1932 bagi daerah  yang langsung  dikuasai  oleh Belanda yang di luar  Jawa  dan  Madura. Sedangkan  bagi daerah swapraja dasar hukumnya  berlakunya  Hukum Adat adalah pasal 13 ayat 3 stb nomor 529 tahun 1938 dalam  lange contracten.
Dasar hukum peradilan adat di Jawa dan Madura adalah  ketentuan  pasal   3 RO stb 23 tahun 1847 jo stb jo.  nomor  47  tahun 1848. RO ingkatan dari _Rechterlijke Organisatie (Reglement op  de Rechterlijke  Organisatie en het Beleid der Justitie in Indonesie

B. Jaman Kemerdekaan Indonesia
a. Ketentuan UUD  NRI 1945
i  Dalam pasal 18 b ayat (2) Undang Undang Dasar NRI 1945 Negara mengakui dan  menghormati  kesatuan-kesatuan  masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai den gan  perkembangan masyarakat  dan prinsip NKRI yang diatur dalam UU.
Beberapa  ketentuan  peraturan  perundang-undangan  nasional  yang memperkuat berlakunya hukum adat  di Indonesia pada saat  ini antara lain :
1. Ketetapan MPRS nomor II/ MPRS/ l960
dalam lampiran A paragraf 402 disebutkan bahwa:
-  Asas-pembinaan  hukum  nasional supaya  sesuai  dengan  haluan    negara  dan  berlandasakan hukum adat  yang  tidak  menghambat    perkembangan masyarakat adil dan makmur.
-  Dalam  usaha ke arah homoginitas  hukum   supaya  diperhatikan     kenyataan-kenyataan  yang hidup di Indonesia.-  Dalam  penyempurnaan  UU hukum perkawinan   dan  waris  supaya    memperhatikan  fakor-faktor agama, adat dan lain-lain.

2. UU Drt nomor 1 tahun 1951 tentang tindakan sementara  untuk      menyelenggarakan  kesatuan susunan, kekuasaan dan acara      pengadilan sipil_
Pasal 1 ayat 2 UU drt 1 tahun 1951:  secara berangsur-angsurakan ditentukan oleh mentri kehakiman, dihapus:
a. Segala pengadilan swapraja kecuali peradilan Islam negara     Sumatera Timur dahulu, Kalimantan Barat dan negara  Indonesia     Timur dahulu.
b   Segala pengadilan adat kecuali Pengadilan Islam. Pasal 1 ayat  3 UU drt nomor 1 tahun 1951 hakim desa tetap dipertahankan. 

3. UU nomor 5 tahun 1960 tentang UUPA . Pasal  2 ayat 4 UUPA mengatur tentang  pelimpahan   wewenang kembali  kepada  masyarakat hukum adat   untuk  melaksanakan  hak menguasai   atas tanah, sehingga masyarakat hukum adat  merupakan aparat pelaksana   dari hak menguasai negara atas untuk mengelola tanah tanah tyang ada di wilayahnya.
Pasal  3 UUPA bahwa pelaksanaan hak ulayat masyarakat  hukum adat,  sepanjang menurut kenyataannya  harus sedikikan  rupa  sehingga sesuai dengan kepentingan ansional  dan negara, berdadasakan  persatuan  bangsa dabn tidak boleh bertentangan  dengan   UU atau peraturan yang lebih tinggi.
Pasal  5 UUPA menyebutkan bahwa hukum agraria  yang  berlaku  atas bumi, air, udara dan ruang angkasa  adalah Hukum Adat sepanjang ( dengan pembatasan)  tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, negara, sosialisme dan undang-undang
-  harus  mengindahkan  unsur-unsur yang  bersandar  pada  agama  (Abdurrahman, l978:75).
Di  dalam  penjelasan umumnya ditjelaskan bahwa  Hukum  Adat yang   tidak  menghambat  perkembangan   masyarakat  adil  makmur  adalah:
- Hukum Adat yang telah disempurnakan
- Hukum Adat yang telah disaneer (Budi harsono)
- Hukum Adat yang telah moder (Ko Tjai Sing)
- Hukum Adat yang murni (Sudargo Gautama)
Pasal  22 Terjadinya hak milik berdasarkan  ketentuan  hukum
adat akan diatur dengan PP.
Pasal 56  UUPA selama UU mengenai  hak milik belum terbentuk, maka  yang berlaku adalah  ketentuan-ketentuan hukum adat  setempat dan peraturan-peraturan lainnya mengenai hak-hak atas tanah  sebagaimana atau mirip dengan pasal 20 sepanjang tidak bertentangan  dengan jiwa dan kjetentuan ketentuan UU ini.

4. UU Nomor 41 tahun l999 UUPokok Kehutanan
Menegaskan  bahwa  pelaksanaan hak-hak masyarakat adat, Hukum Adat dan anggotanya serta  hak-hak persseorangan  untuk mendapatkan manfaat dari hutan secara  langsung  atau tidak langsung didasarkan pada  suatu  peraturan  yang demi tercapainya tujuan yang dimaksud oleh UU ini.

5. PP nomor  21  tahun 1971 tentang  HPH  dan hak pemungutan hasil Hutan. Pasal 6 ayat 1 PP  nomor  21 tahun 1971 menyebutkan  bahwa   Hak-hak  masyarakathukum  adat  dan anggota-anggotanya  untuk memungut  hasil  hutan
didasarkan atas peraturan hukum adat sepanjang kenyataannya masih ada,  pelaksanaannya  masih  perlu  ditertibkan   sehingga  tidak menggangu HPH.
Ayat  2  Pasal 6 PP no. 21 tahun 1971  Pelaksanaan  pasal  1 harus  seijin  pemegang HPH yang diwajibkan meluluskan   pelaksanaan  Hak tsb dan diatur dengan tata tertib sebagai hasil  musyaÅ warah  antara pemegang HPH musyawarah adat  dengan bimbingan  dan pengawasan Dinas kehutanan.
Ayat  3 Demi keselamatan umum dalam areal hutan yang  sedang  dalam rangka penmgusahaan hutan  maka pelaksanaan hak-hak  rakyat  untuk memungut hasil hutan  dibekukan.

6. UU Nomor 4 2004 yang menggantikan UU nomr 14 tahun 1970 tentang ketentuan-keentuan  pokok kekuasaan kehakiman
a.  Pasal  25 ayat 1 yang isinya segala putusan  pengadilan  selain  harus     memuat  dasar-dasar putusan, juga harus  memuat   pasal-pasal     tertentu dari peraturan ybs atau _sumber hukum tidak  tertulis  ang dijadikan dasar untuk mengadili.
b.  Pasal 28  ayat 1 yang isinya tentang hakim sebagai penegak  hukum  dan keadilan   wajib menggali mengikuti dan memahami  nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Dengan diundangkannya UU nomor 4 tahun 2004 maka  ketentuan pasal 131 ayat 6 Is tidak berlaku lagi.



7. UU no 1 tahun l974 tentang Perkawinan
Pasal  35  dan 37 UUnomor 1 tahun 1974 tentang  harta  benda dalam  perkawinan.  
Pasal  35  ayat 1: harta benda yang diperoleh  selama  perkawinan                    menjadi harta bersama.
ayat  2:  harta bawaan dari masing-masing suami dan  isstri   dan           harta  benda  yang diperoleh oleh  masing-masing  pihak            sebagai hadiah, warisaan, adalah berada dibawah penguasaan  masing-masing,  sepanjang para pihak tidak menen  tukan lain.
Pasal 36: ayat 1 mengenai harta bersama  suami atau istri  dapat bertindak   atas persetujuan kedua belah pihak.
Ayat  2:  mengenai harta bawaan  masing-masing, suami  dan  istri           mempunyai  hak sepenuhnya  untuk  melakukan  perbuatabn   hukum  mengenai harta bendanya.
Pasal 37: jika perkawinan putus karena perceraian  maka harta bersama diatur menurut hukumnya masing-msing.
pasal  42: anah sah adalah anak yang lahir di dalam atau  sebagai  akibat perkawinan yang sah.

8. UU nomor 16 tahun 1985 tentang rumah susun daan PP no. 4  1988
tentang rumah susun
UU nomor 16 tahun 1985 mengangkat lembaga Hukum Adat  dengan
cara dimasukkan ke dalam UU tsb yaitu _asas pemisahan horizontal.

9. PP nomor 24 tahun 1997 mengenai pendaftaran tanah 
PP 24 merupakan penyempurnan PP10 tahun 1961. PP 24  diundangkan  pada  8  juli 1997 dan berlaku efektif  8  oktober  1997
Å mengangkat  dan memperkuat berlakunya  Hukum Adat  yaitu  lembaga rechtsverwerking_ (perolehan hak karena menduduki tanah dan menjadikannya  sebagai  hak  milik dengan syarat  yaitu  iktikad  baik selama 20 tahun berturut tanpa ada gangguan/ tuntutan dari  pihak lain  dan disaksikan atau diakui oleh masyarakat.lembaga  aquisitive verjaring kehilangan hak untuk  menuntut  hak milik  

10. UU NO.31 TAHUN 2004 Tentang Perikanan
Pasal 6 ayat (2) UU no.31/ 2004 Pengelolaan  Perikanan  untuk kepantingan  penengkapan ikan  dan pembudidayaan ikan  harus mempertimbangkan  hukum adat da/ atau kearifan lokal  serta memperhatikan  peran serta masyarakat.
11. UU No.22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas bumi
Pasal 33 ayat (3) Kegiatan  usaha mminyak dan gas bumi  tidak dapat dilaksanakan  pada huruf b yaitu : tempat pemakaman, tempat yang dianggap suci,  tempat umum,  sarana dan prasana umum,  cagar alam, cagar budaya, serta tanah milik masyarakat adat.  


III.PENGGOLONGAN PENDUDUK

A. Penggolongan penduduk Zaman Penjajahan Belanda
Penggolongan  rakyat diartikan sebagai pembedaan  rakyat  ke dalam   berbagai  golongan dengan konsekuensi  bahwa  hukum  yang berlaku  bagi  setiap golonganpun akan berbeda.  Dalam  hal  ini, rakyat diartikan sebagai semua orang yang mungkin terkena  kekuasaan hukum  negara Indonesia. Jadi pengertian rakyat tidak  hanya meliputi warga negara Indonesia saja tetapi juga  termasuk  orang asing baik sebagai penduduk maupun bukan (Sudiyat, l981:121).Pada  jaman  penjajahan Belanda, Hindia  Belanda  (Indonesia jaman dahulu) bukan merupakan  negara  maka tidak mempunyai warga negara   (warga negara Hindia Belanda) sendiri. Semua orang  yang bertempat tinggal di Hindia Belanda  pada waktu itu adalah  kaula begara Belanda, kecuali orang asing (Supomo, l983:13),
Berdasarkan  fakta  sejarah,  orang-orang  yang    bertempat tinggal di Hindia Belanda (Indonesia dahulu) dimasukkan ke  dalam beberapa   golongan   yang  termuat   dalam   berbagai  peraturan perundang-undangan yaitu:

1. Jaman Penjajahan Belanda
a.  Pada  tahun l848, berdasarkan  asas  konkordansi,  kodifikasi hukum belanda tahun 1838 diberlakukan juga di Indonesia.  Penggolongan rakyat Indonesia pada waktu itu dapat dilihat dalam ketentuan pasal 6, 7, 8 dan 10 AB _(Algemene Bepalingen van  Wetgeving(Djojodigoeno, l957/1958:23).
Pasal  6 AB memuat ketentuan bahwa rakyat di Hindia  Belanda dibedakan menjadi golongan Orang Eropa, Bumiputra dan yang dipersamakan  dengan Bumiputra dan yang dipersamakan  dengan  golongan Eropa.
Pasal 7 AB memuat ketentuan bahwa yang dipersamakan ke dalam golongan Eropa adalah semua orang yang beragama kristen, termasuk golongan Bumiputra yang beragama kristen.
Pasal  8  AB   menegaskan bahwa  yang  dipersamakan   dengan golongan orang Bumiputra adalah  orang Arab, Moor,  Tionghoa  dan lain-lain yang beragama selain kristen atau yang tidak beragama.
Pasal 10 AB Berisi ketentuan bahwa Gubernur Jendral   wenang untuk menetapkan aturan-aturan pengecualian  bagi orang Indonesia yang beragama Kristen.
Dalam praktek, Gubernur Jendral dengan mengeluarkan  peraturan tentang _Bepalingen  omtrent de Invoering  van en de  overgang tot nieuwe wetgeving_ (Stb. no. 10 tahun 1848). Dalam pasal 3  STb tersebut   ditegaskan bahwa orang Indonesia yang beragama Kristen dalam  lapangan hukum perdata, dagang dan pidana serta  peradilan umumnya akan tetap kedudukan hukumnya  yang lama.  Hal ini berarti  bahwa  dalam praktek orang Indonesia  yang  beragama  Kristen tetap termasuk golongan Bumiputra.
Kelemahannya:
1).  Pembedaan golongan penduduk pada waktu itu menggunakan kriteria
tunggal yaitu agama. Jadi  semua orang Hindia Belanda yang  beragama Kristen dipersamakan ke dalam golongan orang Eropa,  sedangkan semua orang yang beragama selain Kristen atau tidak  beragama dipersamakan ke dalam golongan orang Bumiputra. 
2.)  Siapa yang termasuk golongan Eropa dan Bumiputra tidak  dijelaskan, tetapi hanya dijelaskan mengenai siapa yang  dipersamakan dengan golongan Eropa dan Bumiputra. Menurut  Djojodigoeno (l957:24),  dari ketentuan pasal 6  AB penduduk di Hindia Belanda dibedakan menjadi 4 golongan yaitu:
1. Golongan Eropa
2. Golongan Bumiputra
3. Golongan yang dipersamakan dengan golongan Eropa
4. Golongan yang dipersamakan dengan golongan Bumiputra.

b. Tahun 1854, ketentuan mengenai penggolongan penduduk berdasarkan
pasal 6-10 AB disempurnakan oleh pasal 109 RR.
Pada dasarnya pasal 109 RR tahun 1854 juga membedakan penduduk Hindia  Belanda  (Indonesia) menjadi golongan  Eropa,  Bumiputra, orang  yang  dipersamakan dengan golongan Eropa  dan  orang  yang dipersamakan dengan golongan orang Bumiputra.
Kelebihannya yaitu bahwa   agama tidak sebagai  satu-satunya kriteria untuk memasukkan orang yang bukan Eropa dan Bumiputra kedalam orang yang dipersamakan golongan Eropa atau Bumiputra.  Hal ini  karena pasal 109 RR ayat 4 menentukan bahwa orang  Indonesia yang  beragama kristen tetap termasuk golongan Bumiputra.   Sebaliknya  orang  yang beragama Kristen selain  Tionghoa,  Arab  dan India  dipersamakan dengan golongan Eropa. Mereka tersebut antara lain   Orang  Amerika, Jepang, Australia,  Afrika  selatan,  Jadi kriteria yang dipergunakan adalah _asal negara.
Pasal  109 RR mengandung kelemahan yaitu:
1).  Tidak memberikan penjelasan tentang apa yang dimaksud  dengan
    orang Eropa dan Bumiputra.
2).   Kurang  terangnya teks terhadap  orang  Arab-Kristen,  Orang
    India Kristen, Tionghoa-Kristen sehingga dalam praktek timbul
    dua penafsiran.
Penafsiran pertama mereka termasuk golongan yang  dipersamakan dengan  orang Eropa sedangkan penafsiran kedua mereka  termasuk orang yang dipersamakan dengan orang Bumi putra.
Berdasarkan hal itu maka pada tahun pada tanggal 31 Desember1906 pemerintah Hindia Belanda melakukan peninjauan kembali pasal 109 RR dengan Staatsblad nomor 205 tahun 1907.

c. Pada tgl 1 januari 1920 pasal 109 redaksi baru RR  disempurnakan melalui Staatsblad nomor 622 tahun 1919.
Sejak  1926  ketentuan pasal 109 baru  RR  dimasukkan  dalam pasal   163  IS  bahwa rakyat Indonesia  dibedakan  menjadi  tiga golongan (Supomo, 1983:25) yaitu:
1. Golongan Orang Eropa
2. Golongan Orang Bumi putra dan
3. Golongan Orang Timur Asing.

ad.1. Golongan Orang Eropa
kelemahan  pasal  163  IS yaitu    tidak  menyatakan   siapa golongan Eropa itu, tetapi  hanya menentukan siapakah yang tunduk  kepada  ketentuan untuk orang Eropa. Menurut Supomo, (l983:   27) penafsiran   untuk memasukkan seseorang ke dalam  golongan  Eropa dengan 5 kriteria:
1. Kebangsaan  yaitu orang Belanda dan Jepang
2. Tempat asal negara yaitu dari Eropa
3. Hukum Keluarga yang berlaku baginya pada assnya sama dengan
   hukum Belanda
4. Asas keturunan yaitu anak sah atau yang diakui  menurut UU 
   dan keturunan selanjutnya dari orang-orang tersebut pada nomor
   2 dan 3
5. Keadaan pada tahun 1920 yaitu
-  mereka yang dahulu dipersamakan  dengan golongan  orang  Eropa
dan  anak-anak   mereka   yang  sah atau diakui  menurut  UU  dan
keturunan mereka.
- terhadap perempuan karena perkawinan campuran berdasarkan pasal
2 Stb nomor 158 tahun l898
-  Anak  dari seorang ibu bangsa Eropa  yang  tidak  mengakuinya,
berdasarkan hukum antar golongan (intergentiel) yang tidak tertu
lis.
2. Golongan Orang Bumiputra
Orang-orang  yang termasuk golongan Bumiputra   ialah  semua  orang   yang termasuk rakyat Indonesia  asli Hindia Belanda   dan tidak  beralih ke golongan rakyat lain dan mereka yang  mula-mula berasal dari golongan rakyat lain lantas mencampurkan diri  kedalam rakyat  Indonesia asli (Sudiyat, l981:122). Sedangkan menurut Supomo  (l983:28), yang termasuk golongan Bumiputra ialah  rakyat pribumi  dari Hindia Belanda._ Pribumi_ tidak  berarti   dilahirkan dan dibesarkan di Indonesia, sebab jika demikian maka mereka yang disebut  orang Tionghoa Indo dan Eropa-Indo  seharusnya  termasuk ke  dalam  golongan  Bumiputra. Akan  tetapi  pengertian  Pribumi hanyalah  orang Indonesia asli. 

ad.c. Orang Timur asing
Orang-orang  yang dimasukkan ke dalam golongan  Timur  Asing irumuskan secara negatif yaitu semua orang yang bukan Eropa  dan bukan  Bumiputra. Ketentuan ini mempunyai maksud agar  tidak  ada seorangpun  yang  tidak  termasuk ke dalam  salah  satu  golongan rakyat pada waktu itu.
Kelemahan lainnya dari pasal 163 IS yaitu  terjadi inkonsistensi/ diskriminasi sesama bangsa misal orang Iran yang  beragama Kristen  sebelum tahun 1920 termasuk golongan orang yang dipersamakan dengan orang Eropa, setelah tahun 1920 tetap sebagai  orang Eropa. Sedangkan orang Iran yang tidak beragama Kristen maka atas ketentuan pasal 163 IS termasuk golongan  Timur Asing.
Kelebihan  pasal 163 IS  yaitu sejak tahun 1920   tidak  ada lagi istilah  yang dipersamakan dengan Bumiputra dan yang  dipersamakan  dengan  Eropa,  tetapi hanya ada  tiga  golongan  Eropa, Bumiputra dan Timur Asing. Untuk mengetahui hukum apa yang berlaku pada setiap golongan tersebut di atas dapat dilihat pada pasal 131 IS yaitu:
1. Bagi golongan Eropa berdasarkan asas konkordansi dan pasal 131
   ayat 2 sub a. bahwa pada asasnya berlaku  hukum perdata   yang
   berlaku  di Belanda dengan pengecualian yaitu ada  kemungkinan
   untuk  menyimpang   dalam  hal-hal  sebagai  berikut  (Supomo,
   1983:104):   Keadaan yang istimewa di Hindia Belanda dan  agar
   dapat  diadakan   aturan-aturan yang  berlaku   bagi  golongan
   Eropa bersama-sama dengan satu atau lebih dari golongan rakyat
   lainnya.
2. Bagi golongan Bumoputra dan Timur asing, berdasarkan pasal 131
   ayat  2 sub b. memberikan pedoman kepada hakim  untuk  member
   lakukan Hukum Adat mereka dengan penyimpangan kebutuhan sosial
   mereka  menghendaki demikian dan kepentingan umum  maka  hakim
   dapat  memberlakukan hukum Eropa. Akan tetapi   bagi  Golongan
   Timur  Asing  bukan Tionghoa berdasarkan stb. nomor  79  tahun
   1855 dan  stb nomor 556  tahun 1924 untuk Timur Asing Tionghoa
   ada kemungkinan untuk memberlakukan hukum perdata Eropa kecua
   li hukum keluarga dan hukum waris tanpa wasiat. i.
Mengapa Pemerintah Kolonial Belanda  melakukan  penggolongan Rakyat di Hindia Belanda? Hal ini karena berdasarkan sikap  orang  dan  pemerintah  belanda yang memandang bahwa  kedudukan/  status  Orang  Eropa lebih tinggi dari orang bukan Eropa.  Jadi  golongan orang Eropa mempunyai kedudukan hukum yang utama sehingga hukumnya juga berbeda.
Tujuan dilakukan penggolongan rakyat yaitu  untuk menentukan hukum  yang berlaku bagi setiap golongan. Akan tetapi makna  yang ada adalah untuk memecah belah rakyat agar mudah dikuasai. Akibatnya  rakyat  terkotak-kotak dan  menghambat  persatuan  dan  kesatuan  bangsa. Manfaat bagi   pemerintah  Belanda   mudah untuk tetap menguasai dan menjajah Indonesia karena rakyat terpecahbelah  dan  tidak bersatu. Bagi pemerintah  Indonesia   secara langsung  tidak  ada manfaatnya kecuali hanya   untuk  mengetahui bahwa  hukum  warisan Belanda ( KUHPerdata) masih   berlaku  bagi golongan Eropa dan Timur asing.


B. Penggolongan Penduduk Setelah Indonesia Merdeka

Pasal  26 ayat 2 UUD 45 Penduduk adalah Indonesia hanya membedakan rakyat  Indonesia  menjadi dua  warga negara dan orang asing Juga berdasarkan pasal 27 ayat 1   UU  45 bahwa   setiap wara negara mempunyai kedudukan yang sama di  muka hukum  dan pemerintahan.  dan wajib menjunjung tinggi  hukum  dan pemerintahan.
Tujuannya untuk  menghapus perbedaan kedudukan rakyat.  Jadi setiap rakyat indonesia mempunyai kedudukan yang sama. Memepercepat proses persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia.  Di  lain pihak, berdasarkan pasal I aturan Peralihan  UUD  1945 maka pasal 163 IS secara yuridis masih berlaku di Indonesia. Pada tahun  1966 dengan keluarnya Instruksi presidium  kabinet  Ampera  nomor  31/u/in/12/1966  tanggal  27- 12-  1966,  sehingga  secara formal  menghapus pasal 163 IS sehingga  di Indonesia  hanya  ada dua golongan penduduk  yaitu Warga Negara dan orang asing .

Bagimakah kenyataan di masyarakat?
sampai sekarang masih terdapat aneka warna hukum perdata  seperti hukum  waris  KHUperdata  dari warisan  Penjajah  Belanda,  hukum perdata  adat,  hukum  perdata yang dibuat  oleh  pemerintah   RI sepertu UU perkawinan, UUPA  dan sebagainya. Kesimpulannya, secara formal  pasal 163 IS dan 131 IS  tidak berlaku  tetapi  secara materiil/ kenyataan   masih  ada   dengan pembatasan  hanya  hukum yang berasal   dari  warisan  pemerintah kolonial Belanda.


IV. SEJARAH  PENEMUAN DAN PERKEMBANGAN HUKUM ADAT
Hukum  Adat  sebagai salah satu  gejala  sosial   senantiasa hidup, tumbuh dan berkembang sesuai dengan perkembangan  masyarakat  (Muhammad,  l991:57). Dalam  perkembangannya  sebagai  salahsalah satu disiplin ilmu di bidang hukum maka penemuan dan  perkembangan  Hukum Adat selalu mendapatkan perhatian  dari  berbagai kalangan dan pendirian seperti, para  sarjana, para ahli dan para peminat  lain  (Muhammad, l991:57).
Mntuk  memperoleh  suatu pemahaman mengenai Hukum Adat  maka dapat diajukan beberapa pertanyaan seperti (Sukanto, 20):
1. sejak kapan  diperoleh pengertian  mengenai Hukum Adat?
2. Sejak kapan timbul perhatian atas Hukum Adat?
3. sejak kapan orang mulai meakukan penyeledikan di lapangan     
    mengenai Hukum Adat?
4. sejak kapan Hukum Adat itu ditemukan?
5. Bagaimanakah proses perkembangannya.
Jawaban  pertanyaan di atas hanya sejarahlah  yang  menentu kannya.. proses  perkembangan   Hukum Adat   dapat  dipengaruhi  oleh beberapa  faktor  seperti Iklim  keadaan lingkungan  serta  sifat atau watak bangsa, ia juga dipengaruhi oleh kepercayaan magi  dan animisme,  masuknya agama dan oleh kekuasaan   pemerintahan  atau karena pergaulan dengan orang luar (Hadikusuma, l978;15).
Mengenai  sejarah penemuan dan perkembangan Hukum Adat,  van Vollenhoven  dalam  bukunya  _De  Ontdekking  van  het  Adatrechts (penemuan  Hukum  Adat) melakukan analisa dan  pembahasan  dengan materi  pertanyaan  yang  begitu sederhana  yaitu  siapakah  yang menemukan  Hukum  Adat  itu?. Apakah Hukum  Adat  ditemukan  oleh rakyat  yang  setiap hari secara langsung  telah  menghayati  dan melaksanakannya  atau oleh orang luar?. Setelah melalui  berbagai penelitian dan analisa  maka pertanyaan tersebut dijawab  sendiri  oleh van Vollenhoven bahwa yang menemukan Hukum adat adalah bukan rakyat  yang  setiap hari telah  menghayati  dan  melaksanakannya tetapi  justru orang luar karena merasa tertarik  terhadap  Hukum Adat  yang  mempunyai ciri-ciri yang  unik, khusus atau  istimewa (Sudiyat l981:40). Mereka itu adalah para sarjana, para ahli  dan para peminat lain  yang berasal dari luar lingkungan   masyarakat Adat (Sudiyat, l981:40).
Keunikan atau keistimewaan Hukum Adat menurut para ahli atau sarjana  tersebut antara lain bahwa hukum Adat yang hidup  tumbuh dan berkembang dihayati dan serta dilaksanakan oleh rakyat  Indonesia  merupakan sekumpulan peraturan yang walupun wujudnya tidak tertulis  di dalam peraturan perundang-undangan tetapi  berfungsi mengatur tingkah laku, mengatur hidup bermasyarakat dan  menentukan  serta mengikat karena mempunyai sanksi.
Sejarah  penemuan dan perkembangan Hukum Adat  yang  ditulis oleh van Vollenhoven berisi tentang permulaan perhatian para ahli atau para sarjana barat terhadap Hukum Adat sampai ditemukan  dan proses  perkembangannya   sebagai  salah   satu   disiplin   ilmu  hukum  _(Rechtswetenschap_) sampai pada tahun 1928. Perkembangannya setelah    tahun  l928  dilukiskan oleh  Sukanto   dalam  bukunya Meninjau Hukum Adat Indonesia. Buku tersebut merupakan reproduksi dari buku Penemuan Hukum Adat _(De Ontdekking van Het  Adatrechts) ditambah perkembangannya sampai pada waktu pecahnya perang  dunia Sebenarnya  penyelidikan terhadap   perkembangan Hukum  Adat adalah  jauh  lebih  sukar jika  dibanding  dengan   penyelidikan  evolusi  perhatian  terhadap Hukum Adat (Muhammad, 1991:59).  Hal ini  karena penyelidikan terhadap perkembangan Hukum Adat   tidak hanya  terwujud dengan lahirnya ilmu Hukum Adat saja tetapi  juga terjelma  di  dalam bagaimanakah  pelaksanaannya  dalam   sejarah politik  Hukum  Adat dari jaman VOC,  Pemerintah  Hindia  Belanda sampai kemerdekaan Indonesia.
Sejarah penemuan dan perkembangan Hukum Adat dapat dibedakan dalam beberapa periode atau kurun waktu yaitu pada jaman  sebelum datangnya  bangsa  barat,  Jaman VOC, jaman Hindia  timur,  Jaman pemerintah Hindia Belanda dan jaman setelah Indonesia Merdeka.




A. Jaman Sebelum Datangnya Bangsa Barat
1. Jaman Pra Hindu Sebelum Abad IV_
Pada  jaman  sebelum  datangnya  agama  Hindu  ke  Indonesia  dikenal dengan  jaman Malaio  Polinesia   (Hadikusuma,  l978:15) yaitu  suatu jaman ketika nenek moyang bangsa Indonesia  tersebar mengarungi  lautan antar Madagaskar, Kepulauan  Taiwan  Kepulauan Hawai   dan Pulau Paskah. Pada jaman sebelum  masuknya   pengaruh asing  itu,  kehidupan masyarakat Indonesia  berjalan   mengikuti adat-istiadat  yang   dipengaruhi  oleh   alam  serba  kesaktian. Keadaan  Hukum Adat di masa Malayu Polinesia  segala  sesuatunya bersumber  pada pusat kesaktian, magi dan animisme.

2. Jaman Hindu dan Budha_
selama  jaman  Hindu  Indonesia  mempunyai  kebudayaan  yang tinggi,  karena  terjadinya negara  (kerajaan)   dan  perkonomian berkembang  pesat. Agama Hindu hanya berpengaruh  besar  terhadap kehidupan masyarakat di Jawa,  Sumatra dan bali, sedangkan  daerah-daerah  Indonesia  bagian  timur hampir  tidak  kena  pengaruh HIndu.   Dengan kata lain bahwa di Indonesia timur tetap   dipengaruhi kebudayaan Melayu Polinesia (Hadikusuma, l978:18)

a. Masa Sriwijaya_
Daerah  jajahan kerajaan Sriwijaya meliputi  Jawa,  Sumatra, Kamboja,   Malaysia.  Keadaan  Hukum Adat pada  jaman  ini  tidak banyak ditemukan.

b. Kerajaan Mataram Hindu (Medang Kamulan)
Pada  abad  x di Jawa terdapat sebuah kerajaan  Hindu   yang mempunyai wilayah sampai daerah Jawa Timur dan Jawa Tengah.  Raja Mataram tersebut adalah Balitung.
Di jaman Raja Tulodong terdapat prasasti berangka tahun  919 yang  isinya  antara  lain mengenai hak raja  atas  tanah.  Tanah  hutan yang diperlukan oleh raja batas-batasnya ditentukan sendiri oleh  raja,  tetapi jika menyangkut sawah hak milik  rakyat  maka raja harus membelinya.
Pada  jaman raja Darmawangsa  ada kitab Hukum  yang  disebut Ciwasasana_ atau dalam tulisan Jawa kuna disebut _Purwadigama. Pada jaman Hindu, Hukum adat  terdapat dalam undang-undang,  buku-buku Hindu.
Pada  prasasti  Guntur (907M)   berisi  tentang  pemeriksaan  perkara oleh Hakim Sampat Panipan  pu Gawul dan pu Gallam  mengenai  gugatan San Darma terhadap karena Pu Tabwel tidak  mau  membayar  hutang.  Pu Tabwel tidak mau membayar hutang  karena   itu bukan hutangnya tetapi hutang istrinya dan istrinya telah  wafat. Sidang tidak dihadiri oleh San Darma maka Hakim Pu Gawul memutuskan gugatan San darma ditolak (dikalahkan) dengan dasar penggugat tidak  hadir,  tergugat tidak dapat  dipertanggungjawabkan   atas hutang istri yang tidak diketahuinya . Terhadap Pu Tabwal diberikan  salinan putusan  yang disebut _Jayapatra_ agar  tidak  terjadi gugatan lagi terhadapnya.

c. Jaman Majapahit

Jaman  keemasan kerajaan Majapahit tampak ketika raja  Hayam Wuruk naik tahta dan didampingi oleh Maha patih Gadjah Mada.Karya gadjah Mada mengenai Hukum Adat  antara lain:i.   Sang Prabu memerintah dibantu oleh 4 badan pemerintahan yaitu
     Mantri  katrini,  panca  ring wilwatikta,  Darma  jaksa  dan   Saptapapati.
ii.  Membagi pemuda menjadi dua golongan yaitu Darmaputra: pemuda     yang  bertugas menjaga pusat pemerintahan  dan  Mahkota  dan     _Bhayangkara_: pemuda yang bertugas  sebagai  penjaga  keamaman      dan kehormatan negara.iii. Kitab Hukum Gadjah Mada. Kanaka  sebagai  penerus Gadjah Mada  menyusun  kitab  Hukum Adigama_ dan diBali terdapat kitab hukum lama  yaitu Kutaramanawa Semua kitab hukum tersebut memuat hukum raja bukan hukum rakyat.

3. Jaman Islam
Pada  jaman kerajaan Islam berkembang di Indonesia,  Seperti Kerajaan  Samudara  pasai di Sumatra, Mataram di Jawa,  Demak  di Jawa  tangah,   tidak  banyak sumber mengenai  Hukum  Adat.  Akantetapi  hal itu merupakan latar belakang  untuk dapat  mengetahui  lebih jauh mengenai sejarah penemuan dan perkembangan Hukum  Adat (Hadikusuma, 1978:54).

B. Jaman Setelah Ada Pengaruh Dari Bangsa Barat
 Jaman VOC_
Pada masa  ini tak seorangpun ada yang mau mengadalkan penelitian   Hukum Adat  sejati. Para penguasa pada VOC hanya  iseng-iseng   menulis  dalam buku hariannya tentang kesusilaan,  agama, bahasa dan kebiasaan golongan orang Bumiputra.Pada  masa selanjutnya muncullah para pemerhati  Hukum  Adat
seperti:
i.  Van Twist banyak menulis tentang penduduk asli orang benua.
ii.  Gerrit  Demmer  mempelajarai   pemerintahan  dan  organisasi 
     kemasyarakatan  penduduk Ambon.
iii. Speelman membuat uraian tentang  Mataram dan Sulawesi  Sela
     tan.
iv.  Robert Padtbrugge menulis tentang  perjalannnya ke  Sulawesi
     Utara, Sangihe dan juga menulis adat istiadat Minahasa.
v.  Van  Goens menulis laporan tentang Kompeni,  pembagian  pulau
    Jawa   dan  Penduduknya  serta  perjalannannya   ke   Mataram
   (Javaanse reis)_.
vi. Orang Belanda yang turut memberikan perhatian terhadap  peng
    kodifikasian  Hukum Adat adalah Cornelis Joan  Simons.  Dalam
    Usul tersebut Simon menonjolkan betapa pentingnya  kodifikasi
    dengan memperhatikan hukum pribumi dan tidak  mengesampingkan
    Hukm  Agama. Kelemahannya usulan Simons  mengenai  Kodifikasi
    tersebut  mengartikan Indonesia dalam arti yang luas termasuk
    Sailan. Jadi Kurang menyentuh Hukum Adat yang dimaksud  yaitu
    Hukum Adat dari Sabang sampai Meraoke. 
vii.  Valentijn   menulis _Oud en Nieuw Oost Indien   yang  memuat
    tentang kelaziman hukum dan kehidupan rakyat. Karya-karya mereka ini sudah menunjukkan perhatiannya terhadap penemuan dan perkembangan Hukum Adat hanya saja baru  merupakan ancang-ancang (persiapan) untuk meloncat. VOC  _(Verenigde Ost Indische Compagnie_)  sebagai  organisasi dagang   mempunyai  kewenangan  seperti  layaknya  sebuah  negara karena diberi Hak Oktroi oleh Dewan rakyat  Belanda  (Hadikusuma, l978:57).  VOC diberi hak untuk membuat uang, tentara  mendirikan benteng  dan  hukum  sendiri serta  dapat  mengadakan  perjanjian dengan para raja. Sebenarnya VOC sebagai organisasi dagang tidak ada kaitannya untuk  turut  mencampuri Hukum Adat yang  berlaku  di  Indonesia, tetapi  berdasarkan alasan praktis maka  di beberapa tempat   VOC melakukan  campur tangan terhadap Hukum Adat. Wujud campur tangan VOC terhadap Hukum Adat tersebut  menghasilkan 4 kodifikasi   dan pencatatan  hukum    bagi orang Indonesia  Asli  yaitu  (Sudiyat, l981:44)
1.  Pada  tahun l750 dengan  dibuatnya  compendium  berupa  Kitab
    Hukum Mogharrar untuk keperluan  Landraad di semarang.     Kitab  hukum  tersebut bermaksud memuat  kitab  hukum  Pidana     Jawa, tetapi berupa Hukum Pidana Islam
2.  Pada tahun 1759 dikeluarkan Compendium Clootwijk  tentang  UU
    Bumiputra  di lingkungan Kraton Bone dan Goa3.  Tahun  1760  keluar Compendium Frijer   yang  berisi  tentang     Himpunan Peraturan  tentang Nikah, Talak dan Warisan.4.  Pada  tahun 1757-1765 keluar pepakem  Cirebon   oleh  Residen
    Cierebon Hasselaer merupakan kitab Hukum Adat.   Kelemahannya     tidak  didasarkan  pada hasil penenlitian dan   diambil  dari     bahan  tertulis karena isinya merupakan kumpulan  dari  Hukum     Adat  Jawa   yang  sumbernya dari  kitab-kitab  kuno  seperti     Undang-undang  Mataram, Jayalengkara, Kutara Manawa dan  Adilulloh.
Karya  Kitab Hukum Adat lainnya adalah Ridzali  (l650)  yang membuat   lukisan  tentang masyarakat Hitu di Ambon.  tahun  1676 Amanna Gappa (orang bugis) yang mencatat peraturan pelayaran  dan pengangkutan laut bagi orang Wajo.

C. Jaman Pemerintah Hindia Timur  dan Inggris (setelah  VOC:1780-
1865)_
Penemuan  Hukum adat terjadi secara  berangsur-angsur   pada abad 19 dan permulaan abad 20  yaitu sejak dilakukannya  penyelidikan  dan  studi Hukum Adat  yang makin banyak,  sistematis  dan teliti  (Sudiyat 1981:45). Dalam kuraun waktu tersebut  oleh  van Vollenhoven  disebut sebagai  _westerse  verkenning_  (penyelidikan lapangan  oleh  Orang barat)  yaitu masa  perintis   penyelidikan  dan studi Hukum Adat yang berasal dari  dunia Barat. Para  perintis  yang  melakukan penyeledikan terhadap  Hukum  Adat  tersebut
adalah:
1. Marsden_
Marsden  adalah orang Inggris yang menjadi  pegawai  pangreh praja  Hindia  Belanda. Karya Marsden  yang  dipublikasikan  pada tahun  1783 adalah _The History of Sumatra_ yang  sebenarnya  tidak memuat sejarah tetapi suatu deskripsi/ laporan sistematis tentang Sumatera  yang  meliputi pemerintahan,  hukum  dan  adat-istiadat  penduduk   Bumi  putra  pada  akhir  abad  18.  Menurut   Sukanto (l981:25), Hukum Adat hanya merupakan bagian kecil saja dari buku _The History of Sumatra_, Marsden menaruh minat terhadap  HukumAdatdan  mencoba mengatur, menyusun misal susunan  masyarakat,  hukum perkawinan,  hukum waris dan hukum pidana.
Menurut  van Vollenhoven dalam Muhammad  (l991:66),  Marsden  disebut  sebagai  pionir atau perintis   pertama  dalam  penemuan Hukum Adat sebab Marsdenlah  timbul untuk pertama kali  kesadaran tentang kesatuan dan hubungna tali-temali  dari daerah dan golongan   suku-suku  bangsa yang keseluruhannya  digolongkan  kedalam kompleks yang lebih luas yaitu Melayu Polinesia ( daerah  Indonesia dan orang-orang Indonesia.

2. Muntighe_
Herman  Warner Muntinghe  adalah orang belanda yang  menjadi sekretaris  Guberneman,  sekretaris  Gubernur  jendral  Daendels, ketua  HGH (Hooggerechtshof), pembantu Raffles, anggota raad  van Indie. Jasa  Muntinghe adalah menemukan desa jawa sebagai  persekutuan hukum _(Rechtsgemenscap_) yang asli  dengan organisasi sendiri dn  hak-hak  sendiri  atas tanah. Muntinghe  adalah  orang  Barat pertama  yang menggunakan istilah Adat secara sistematis,  tetapi belum mengnenal  Adatrechts.

Raffles
Raffles  adalah letnan-Gubernur Inggris di Pulau jawa  tahun 1811-1816 dan pada tahun 1819 mempelajari bahasa melayu dan adat-istiadat  rakyat Indonesia. Raffles menulis _The History of  Java, pengertian History bukan sejarah tetapi _account  of the island of Java_ (suatu uraian tentang pulau Jawa) yang menjelaskan pemimpin-pemimpin, kitab hukum, hukum keluarga dan waris Jawa (Van Vollenhoven, l981:25).
Sebenarnya  Raffles   adalah penyelidik  adat-istiadat  yang pertama dan sungguh-sungguh. Penyeledikan Hukum Adat yang dilakukan  oleh Raffles  tidak dipublikasikan ke dalam _The history  of Java_ tetapi dalam skema  pajak tanah yang bahan-bahannya  diperoleh  dari   infformasi setempat   dan  pengalamannya  sendiritentang kebiasaan dan adat dari negeri  dan sifat lembaga-lembaga  orang Jawa (Muhammad, l991:67).
Pandangan Raflles terhadap Hukum adat:
a.  Mencampuradukkan antara Hukum Agama dengan Hukum Bumi  Putra.
b.  Alquran   dipandang sebagai sumber Hukum di  jawa,  sedangkan
    desa  bersifat Hindu .
c.  Melebihkan hukum tertulis yaitu ketika menyelidiki tentang
    agraria di Jawa.
d.  Bahan-bahan yang diperoleh  mengenai Hukum adat yang hidup di
    Jawa  didapat  dari daerah-daerah  kerajaan  (Yogyakarta  dan
    solo). Jadi Raffles tidak mencatat Hukum  rakyat yang  hidup,
    tetapi  seperti Marsden, Raffles  melihat  Indonesia  sebagai
    keseluruhan yang bulat dan tidak terpisah-pisahkan. 

4. Crawfurd_
Beliau  adalah seorang dokter  yang bekerja pada  pemerintah Inggris,   tetapi diserahi tugas politik  yaitu pada  tahun  1814 menjadi resident di kraton Yogyakarta. Pada tahun 1816  melakukan tuhgas politik  di Bali dan Sulawesi
Karya  Crawfurd   History of the  indian  Archipelago   yang terbit tahun 1820 yang berisi laporan sistematis mengenai  agama, adat, abahasa lembaga-lembaga Bumiputra (Muhammad, l991:68). Pandangan  Crawfurd terhadap  Hukum Adat adalah bahwa  Hukum Adat  merupakan  suatu campuran  dari adat-istiadat  asli,  hukum Arab  dan Hindu.  Jadi Hukum Agama merupakan  bagian  kecil  saja dari  Hukum  Adat. Crawfurd menulis Hukum Tanah, Desa  dan  hukum waris (Sukanto, l981:29).

5. Van Hogendorp_
Hogendorp  adalah orang Belanda yang juga  mempelajari   dan menyelidiki bagian Hukum rakyat  Jawa yaitu hak milik atas  tanah bagi Bumiputra.  Menurut Hogendorp: orang Jawa hidup dalam sistem pinjam  tanah,  raja sebagai pemilik tanah  kemudian  meminjamkan tanahnya  kepada  pemegang-pemegang apanage- bukan  kepada  desa. pPara  pemegang  apanage kemudian meminjamkan lagi  kepada   para warga desa dengan ketantuan bahwa rakyat wajib menyerahkan  sebagian  hasilnya   kepada  Raja  melalui  para  apanage  (Muhammad, l991:69).  Dalil  inilah yang kemudian  diambil  oleh  pemerintah
Hindia  Belanda dengan mengeluarkan Domein Verklaring   stb.  ll8
tahun 1870.
Jasa  van Hogendorp mendesak agar diadakan perubahan  sistem hkum  tanah yaitu bahwa rakyat bukan lagi sebagai  peminjam  atas tanah   dari   para  apanage tetapi sebagai  pemilik  yang  dapat ditarik pajak  yang normal.

6. Daendels
Daendels  adalah  orang  Belanda yang  telah  mengenal  desa sebagai  persekutuan Hukum  yang bulat. Ia mengubah   pajak  bumi raja  Banten  sehingga berusaha  untuk menggunakan lembaga pribumi   dan dasar-dasar pribumi. Ia juga mengetahui  lembaga  panjer dalam  Hukum  Adat. Akan tetapi ia membuat  kesalahfahaman  dalam menyelidiki  Hukum  adat yaitu  bahwa hukum pidana  Jawa   adalah Hukum  Islam   menurut ketentuan alQuran.  Kepala  desa  dianggap sebagai kepala distrik.  pada tahun 1808  ia menganjurkan agar di seluruh  desa  pantai utara jawa   diadakan  pelajaran  anak-anak menurut adat kebiasaan  dan undang-undang.

7. Jean Chistien Baud
Pada  tahun 1829 ia diberi  kesempatan untuk melindungi  hak layat  desa (hak desa untuk megatur/ menguasai tanah atas  tanah tandus). Ia tidak dapat menerima ajaran Domein (Domeinleer)  yang mengatakan  tanah adalah milik raja. Ia  menyesalkan  penyalahgunaan   hak  rakyat yang berupa kerja rodi. Ia  juga  menganjurkan agar ada hak milik pribadi  atas tanah pertanian oleh rakyat.Para perintis penemu Hukum Adat tersebut di atas adalah para pegawai  pemerintah  yang bekerja sebagai pucuk  pimpinan  tetapi belum  ada  yang meneliti persoalan-persoalan Hukum  Adat  secara sistematis.  Alasan mereka adalah bahwa orang  Indonesia  sendiri tidak   berdaya  untuk membentu  pekerjaan para penguasan  Hindia Belanda  untuk melakukan penelitian.
Sebenarnya menurut Muhammad (l991:72), mereka yang  langsung dihadapkan  dengan Hukum Adat adalah orang-orang yang bekerja  di bawah  tangga  pucuk pimpinan yang melaksanakan keputusan  pimpinan. Meraka ini adalah para pekerja lapangan _(Fieldworker/  werkers te velde) _antara lain (Sudiyat, l983:47):
1.  Rothen Buhler yang menemukan hukum pemilikan tanah oleh  desa
    dan pembagian kembali tanah-tanah desa setiap tahun   merupa
    kan adat kebiasaan yang normal.
2.  Du Bois menulis kehidupan masyarakat  Hukum Adat di Lampung.
3.  Reiynst  menulis laporan tentang  marga di palembang dan
    Hukum Tanah Adat.
4.  Dommis  meneliti sistem kekerabatan di Minangkabau.
5.  Winter  menulis _instellingen, gewoonten en gebruiken   (adat,
    kebiasaan dan kelaziman)
6. Van Schmid menulis tenang adat-istidat  di pulau Seram.
7.  Willer  menulis  kumpulan undang-undang  Batak  dan  lembaga-
    lembaga di Mandailing
8.  Van den Boshe membukukan uu Simbur Cahaya yang  berisi  adat-
    istiadat Palembang.
9.  van Ophuisen menulis Hukum Adat Sumatera.
Proses  penemuan  dan perkembangan Hukum Adat didukung  oleh
berbagai lembaga seperti media massa yang berupa _Majalah Het regt
in Nederlands Indie_, yang pada tahun 1914 diganti menjadi Indisch
Tijdschrift  van het Rechts_. Majalah lain yang memuat Hukum  adat
adalah  The Oosterling dalam Majalah Tijdschrift voor  Nederlands
Indie.
Lembaga kerajaan (Koninklijk  Instituut voor Taal en  Landvolkenkunde van Nederlands Indie_  yang didirikan pada tahun  1851  oleh  Baud juga berperan dalam proses penemuan  dan  perkembangan Hukum Adat. Orang yang paling berpengaruh  dalam KITLV ini adalah Salmon Keyzer sebqagai penemu Hukum adat sepenuhnya dan  terkenal dengan teori _Receptio in Complexu_.

D. Jaman Pemerintah Hindia Belanda sampai Indonesia Merdeka (1865 sampai 1945)Perkembangan minat untuk  menemukan Hukum Adat terdiri  dari
4 kalangan yaitu:
1.  Parlemen  Belanda;  berminat di  bidang  hukumAgraria  (Hukum Tanah)
2.  Pangreh Praja berminat terhadap organisasi rakyat
Tiga  orang  Pangreh Praja yang  karya-karyanya  luar  biasa
mengenai  penemuan dan perkembangan Hukum Adat adalah  Liefrinck,
Wilken  dan  Snouck Hurgronje  yang dikenal dengan  istilah  Trio
Penemu Hukum Adat.
ad.1.  Wilken  menggunakan  metode  perbandingan  etnologi  dalam
       menyelidiki  Hukum Adat dan memberikan  tempat  tersendiri
       terhadap Hukum Adat, namun ia belum dapat dikatakan  seba
       gai  pendasar Hukum Adat. Van vollenhovenlah sebagai  pem
       bentuk  sistem  pelajaran Hukum Adat.  Karya  Wilken  yang
       tersebar  lalu  dikumpulkan menjadi  satu   yang  berjudul
       _Opstellen over Adatrechts_ (karangan-karangan Hukum Adat)
ad.2. Liefrinck Berbeda dengan Wilken, maka Liefrinck   membatasi
       penyelidikannya hanya pada satu lingkungan Hukum Adat saja
       yaitu Bali dan Lombok.
ad.3. Snouck Hurgronje adalah sarjana sastra yang menjadi politi
      kus,  pernah ke arab  dengan memakai nama Abdul Gaffar  dan
      disana  bergaul  akrab  dengan  orang   Indonesia  sehingga
      banyak mengetahu lembaga-lembaga Hukum Adat. Pernah tinggal
      di  Indonesia  dan menulis buku De atjeheers dan Het  Gajo
      land.
Metode  yang  digunakan dalam menelidiki Hukum  Adat   yaitu seperti Liefrinck dengan mengkonsentrasikan diri pada satu  lingkungan  Hukum Adat yaitu di tanah Gayo. Pemakai  pertama  istilah Adatrechts.
3.  Lemmbaga  penyiaran agama Kristen   berminat  terhadap  hukum
    keluarga/ kekerabatan dan hukum Waris.
4.  Para Yuris  menaruh minat di bidang hukum harta kekayaan  dan
hukum delik. Mereka ini antara lain :
a. Gelder yang menaruh minat terhadap pengertian-pengertian Hukum
   Adat dan Hukum Tanah
b. Nederburgh  yang menaruh minat terhadap masalah-masalah  Hukum
   Adat. Karyanya yaitu _Wet en Adat_.
c.  Carpentier  Alting melakukan penelitian terhadap  Hukum  adat
   dengan  meminta  keterangan dari para tetua  adat   dan  fokus
   penelitiannya di Minahasa.
Ciri  khas  para  Yuris tersebut di  atas   dalam  melakukan penyelidikan  Hukum  Adat  yaitu bahwa  kupasan/  bahasan  mereka terhadap  Hukum Adat belum menyentuh isi Hukum Adat  tetapi  baru memberikan  uraian mengenai  hal-hal di sekitarnya.  dengan  kata lain  bahwa   para yuris tersebut baru  mencatat yang  ia  lihat, dengar,   dan  yang terjadi misala tentang  moral,  tingkah  laku tanda  tanda larangan dsb. Jadi belum menganalisa  secara  ilmiah tetapi baru sekedar melakukan pencatatan saja.
Penemuan lebih mendalam mengenai Hukum Adat terjadi  setelah tahu 1900  dengan ciri khas bahwa penelitian terhadap Hukum  Adat tidak sekedar melakukan pencatatan dan penghimpunan  fakta-fakta/ kejadian saja tetapi  sudah mulai  memahami sifat khas ketimuran. Arti  penting  penelitian Hukum Adat setelah  tahun  l900  adalah mendorong dan membimbing pelajaran Hukum Adat ke arah yang baru.Ada beberapa faktor yang  membelokkan  penelitian Hukum Adat ke  arah  yang barusehingga mendorong lahirnya  ilmu  Hukum  Adat
yaitu:
a. Karya etnologi baru yang dipropagandakan oleh van Ossenbruggen
yaitu  bahwa untuk mempelajari dan memahami  lembaga-lembaga  ma
syarakat   timur  orang dan primitif harus mencari titik  pangkal
di dalam jiwa masyarakat timur/ semangat ketimuran  dan primitif.
b.  Usul  RUU dari pemerintah HB untuk  membinasakan  Hukum  Adat
yaitu - pasal 75 dan 109 RR (l904). 
      - pasal 62 RR tahun 1918
c. keputusan dan tindakan pemerintah HB  untuk mengatur   tentang
materi  yang  masih  dianggap berat yaitu  urusan  desa,   urusan
wilayah dn Hukum Tanah.
Faktor  lain yang juga turut mempengaruhi adalah  di  bidang
kerohanian  yaitu sejak 1900 terjadi perubahan  pola  pikir  dari
rasionalistis  materialistis   ke arah pola berpikir  yang  bukan
Eropa sentris  dan tidak materialistis.

Minat  universitas  secara resmi pada tahun 1921  mewajibkan
bahwa Hukum Adat  harus diujikan di perguruan Tinggi. Pada  tahun
1924 mata pelajaran Hukum adat merupakan mata pelajaran Wajib  di
Perguruan Tinggi Hukum Di Jakarta.

1. Van Vollenhoven
Van Vollenhoven merupakan salah satu orang Belanda yang gigih
menentang   usaha  pemerintah   untuk  menghilangkan  Hukum  Adat
melalui pendesakan dari pihak penguasa dan hakim.
Jasa  Van  Vollenhoven  yaitu:
i.  Melakukan  penelitian  Hukum Adat di Indonesia   dan  memper
    juangkan bahwa Hukum adat tidak kalah derajadnya jika  diban
    dingkan dengan hukum lain.
ii. Merupakan peletak dasar  ilmu hukum Adat artinya   mengangkat
    Hukum  adat  sebagai  salah satu bidang disiplin  ilmu  hukum
    sejajar  dengan bidangn hukum lainnya.  Beliau  juga  sebagai
    pengembang serta pembina  sistem mata kuliah Hukum adat.
iii. Menghilangkan kesalahpahaman antara Hukum Adat dengan  Hukum
     Islam
iv.  Membela Hukum Adat karena pemerintah Belanda  mau  mengganti
     Hukum Adat ke dalam UU Belanda.
v.   Melakukan pembagian wilayah Indonesia menjadi 19  lingkungan
     wilayah Hukum Adat
Pembagian  wilayah Indonesia menjadi 19 itu bersifat  semen
tara dan bukan merupakan perbedaan yang asasi karena di  kemudian
hari   dapat   bertambah atau berkurang  sesuai  dengan  pengaruh
perkembangan  jaman, keinsyafan nasional dan keinginan  unifikasi 
Hukum di Indonesia.
Dasar  pembagian wilayah Indonesia enjadi 19 adalah   persa
maan dan perbedaan  tiap wilayah lingkungan Hukum.

_2. Peranan Ter Haar _
1.  Di  dalam Politik hukum Adat, Ter  Haar  berusaha  semaksimal
mungkin   agar Hak ulayat mendapatkan pengakuan secara formal  di
dalam UU, melalui berbagai perjuangan di Voklsraad, komisi Agrar
ia, nasehat kepada komisi karangan-karanagnya
2. Di lapangan Teori Hukum  Adat
i.  Ter  Haar melakukan  penyelidikan lembaga Hukum  dan  faktor-
    faktor sosial yang mempengaruhinya Hukum Adat. 
ii.  Ter  Haar memperkenalkan teori  yang  berbeda  denga   teori
     sebelumnya yaitu teori keputusan _(Beslissingen leer)
Akibat  Teori  adalah terhadap pembagian  wilayah  Indonesia
menjadi 19 lingkungan hukum Adat
i. Pembagian wilayah tersebut menjadi semakin tajam  sehingga
   sukar  untuk  dapat  tercipta   suatu  asimilasi   hukum  dari 
   lingkungan hukum  yang satu dengan lainnya.
ii.Mempertajam  rasa   kedaerahan  dan menghambat  persatuan  dan
   kesatuan
iii. Hukum Adat dibatasi dan menjadi sempit yaitu hanya   hal-hal
    yang diputuskan oleh para fungsionaris hukum  saja.
Sebenarnya yang kita perlukan pada masa sekarang ini adalah:
i.  Meneliti keadaan  sesungguhnya  di daerah lingkungan Hukum
    Adat tersebut.
ii. Mencari asas hukum yang masih  terpelihara  sebagai bahan
    pembentukan  Hukum nasional.
iii.Mencari  persamaan-persamaan   asas-asas  hukum  di   seluruh
    Indonesia, bukannya perbedaan-perbedaannya.
iv.  Mengikuti perkembangan  masyarakat  dan  perkembangan  kebu
    tuhan Hukum masyarakat
v.  Memahami politik hukum  pemerintah RI seperti  yang  tertuang
    dalam GBHN.

B.  Perkembangan Hukum Adat setelah Indonesia Merdeka
Setelah Indonesia merdeka  tanggal 17 Agustus 1945, kesadaran Timur  dilengkapi dengan unsur nasional, bahkan diperluas  dan diperdalam.  Kesadaran  nasional  untuk  mempelajari  Hukum  Adat meliputi   tiga unsur pokok  yaitu dialami oleh  orang  Indonesia sendiri,  dinyatakan  dalam bahasa nasional  dan  memakai  metode pelajaran nasional.

A Konsepsi dan Peran Supomo_
Supomo adalah orang Indonesia dan  menjadi murid Ter Haar Supomo menganjurkan adanya reorientasi  dalam politik  Hukum setelah  Indonesia  Merdeka yaitu bahwa sudah  semestinya  negara Indonesia  yang  merdeka  menjadi masyarakat  dan  negara  modern sehingga  hukumnyapun juga harus modern. hukum Modern itu   bukan hukum  Belanda  tetapi   hukum yang  berisi   asas-assas   modern universal. Kodifikasi  diupayakan  bersifat unifikasi terutama di bidang  hukum harta kekayaan. Sebaliknya, unifikasi  masih  sulit dilaksanakan  di lapangan  hidup kekeluargaan   karena  berhungan erat dan dipengruhi  oleh kepercayaan batin masyarakat  (Sudiyat, l981:95).
Dasar  sistematiak tersebut karena terdapat perbedaan   ciri  dan
sifat Hukum Adat dengan Hukum Barat,
Konsepsi  Supomo  mengenai  hukum Adat adalah  yang  paling  luas
karena meliputi  nonstatutory law, judge made law, customary  law 
dan convention.

B. Peranan dan Konsepsi Djojodigoeno
Menurut  Djojodigoeno  sistem  hukum  di  dunia  ini  secara ekstrim  dapat dibedakan menjadi dua yang menghendaki  kodifikasi dan yang tidak menghendaki kodigfikasi (Anglosaxon) Intisari  Hukum Adat  berpangkal pada ugeran yang  bersumber pada  kekuasaan negara dan masyarakat dan timbul  langsung   dari kebudayaan Indonesia Ugeran adalah hukum yang membebani  kewajiban  dan pantangan (perintah  dan laranga) yang bermaksud membatasi   sikap  tingkah laku  orang  dalam masyarakat sehingga timbul  suatu  tata  dalam masyarakat. Ugeran dijumpai  dalam perundang-undangan,  yurisprudensi, adat kebiasaan.
Dalam  sejarah  penemuan  dan  perkembangannya  Hukum  Adat, para  pembuat  undang-undang yang mencantumkan Hukum  Adat  dalam berbagai  peraturan  perundang-undangan  selalu  membatasi  Hukum Adat.   Masalah  ini menurut Koenoe di  dlam  Sudiyat  (l981:107)  mencerminkan bahwa para pembuat UU  berpandangan negatif terhadap Hukum Adat dan memandang bahwa kedudukan Hukum Adat  tidak  sejajar dengan Hukum tertulis.
Sejak  tahun  l966  dengan Tap MPRS nomor XX  dan  dikuatkan lagi dengan Tap MPR nomor Iv tahun l973 mengenai GBHN  ditegaskan bahwa  hukum  nasional  harus mampu   mengarahkan  dan  menampung kebutuhan hukum sesuai dengan kesadaran hukum rakyat yang berkembang ke arah modernisasi.
Konsepsi  Hukum  Adat  dalam  Tap MPR nomor  IV  tahun  1973 direalisir dalam berbagai peraturan perundang-undangan seperi  UU No. 1 tahu l974, UU nomor  5 tahun l979, UU nomor 16 tahun 1985
Dengan  dimasukkannya  konsepsi lembaga-lembaga  Hukum  adat kedalam  berbagai  peraturan perundang-undangan  tersebut  apakan Hukum  adat  menjadi  Hukum yang mati?
Pendapat     aliran normatif sosiologis  yang  berpandangan luas bahwa Hukum Adat sebagai hukum yang tidak tertulis  walupun berbagai lembaganya telah diambil oleh pembuat undang-undang  dan dimasukkan  dalam berbagai UU maka sebagai hukum yang hidup  (the living  Law)_  masih tetap eksis atau hidup. Hal  ini  berdasarkan kenyataan  bahwa tidak semua UU menjadi hukum yang hidup,  tetapi banyak kasus UU tidak dilaksanakan oleh masyarakat dan masyarakat lebih  senang menggunakan lembaga  yang ada di dalam Hukum  Adat. Selain itu, dalam sustu sistem Hukum  maka tidak mungkin  (mustahil)  semua  hal atau persoalan hidup manusia akan  dapat  diatur dalam perundang-undangan. Dalam kenyataannya UU itu tidak sempurna dan tidak mungkin sempurna karena sejak proses pengusulan  dan pembahasannya sarat dengan berbagai kepentingan. Dalam hal inilah Hukum  Adat berperan sebagai pengisi dan pelengkap  sistem  Hukum  nasional kita.

D. SEJARAH POLITIK HUKUM ADAT
1. Pada Zaman Penjajahan Belanda
      Pada masa VOC tidak ada politik hukum yang sadar terhadap Hukum Adat. Hukum Adat dibiarkan seperti apa adanya. Pada tahun 1830ada angan-angan pemerintah Belanda untuk memberlakukan asas persamaan hukum, kemudian dibentuk Panitia Scholten namun gagal.
      Tahun 1848 Hukum Adat diperdebatkan lebih hebat berhubung diberlakukannya KUH Perdata, dagang dan Acara Pidana bagi penduduk Belanda yang ada di Indonesia. Hukum Adat akan diganti dengan Hukum Eropa. Berbagai usaha yang menentukan nasib Hukum Adat dalam perundang-undangan yaitu:
      Usaha Wichers mau menggantikan Hukum Adat dengan hukum kodifikasi. Van Der Putte mengenai penggunaan hukum tanah Eropa bagi penduduk desa untuk kepentingan pengusaha Belanda. Cremer mengenai kodifikasi lokal bagian dari Hukum Adat. Kabinet Kuyper usul menggantikan Hukum Adat dengan Hukum Eropa. Amandemen van Idsinga hanya mengizinkan penggantian Hukum Adat  dengan Hukum Barat jika kebutuhan sosial rakyat menghendaki. Tahun 1927 terjadi perubahan politik hukum yang dikenal dengan politik titik balik dari unifikasi ke kodifikasi.

1. Pada Zaman Kemerdekaan Indonesia
Pada kurun waktu 1945-1950 Hukum Adat belum dipermasalahkan.
Tahun 1950 mulai ada tanda perubahan yang dirintis oleh Djojodigueno dengan karya menyandra Hukum Adat.
Tahun 1960 Hukum Adat memperoleh kedudukan yang kuat yaitu dengan keluarnya Tap. MPRS No. II Tahun 1960. Dalam lampiran A dikatakan bahwa Hukum Adat sebagai landasan tata hukum nasional.
Hukum Adat sebagai hukum yang hidup, hukum tidak tertulis berfungsi sebagai pelengkap dalam sistem hukum di Indonesia. Hukum Adat merupakan salah satu sumber yang penting untuk memperoleh bahan-bahan bagi pembangunan hukum nasional yaitu dengan: menggunakan konsep dan asas dari Hukum Adat yang dirumuskan dalam norma dan lembaga hukum baru. Penggunaan lembaga-lembaga hukum adat yang dimodernisir dan tidak kehilangan sifat kepribadian Indonesia.




V. MASYARAKAT DAN DESA

A.  Masyarakat dan Masyarakat Hukum Adat
Masyarakat dalam pengertian sehari-hari diartikan sebagai “pergaulan hidup” dan yang lebih tepat lagi masyarakat itu diartikan sebagai kelompok manusia yang hidup bersama dan kehidupan bersama itu merupakan pergaulan hidup. Dalam pergaulan hidupnya itu terdapat pola-pola perilaku yang dimengeri maknanya oleh setiap warga kelompok. Mereka merasa sebagai satu kesatuan.
Masyarakat Hukum, diartikan sebagai suatu kelompok manusia yang hidup bersama dalam tata hukum yang sama (Rechtsgemeenschap) sehingga mereka juga merupakan satu kesatuan. Ciri lainnya adalah bahwa masyarakat hukum mempunyai wewenang hukum (otoritas hukum, Rechtsgezag) dan upaya pemaksa hukum ((Rechtsdwang). Di samping itu juga mempunyai kekayaan dan dapat mengadakan hubungan-hubungan hukum dalam lalu lintas hukum seperti subyek hukum lainnya.
Masyarakat Hukum Adat, dapat diketahui dengan ciri-ciri sebagai berikut:
a.  Bersikap dan bertingkah laku sebagai satu kesatuan terhadap dunia luar baik lahir maupun batin.
b.  Mempunyai tata susunan tetap dan kekal, dalam arti tidak seorangpun di antara mereka mempunyai pikiran akan kemungkinan pembubaran kelompok tersebut.
c.  Para warganya menghayati kehidupannya dalam kelompok itu sebagai suatu hal yang wajar yang dikehendaki oleh kodrat alam.
d. Mempunyai harta benda cita yang harus dibina dan dipertahankan bersama.
e.  Mempunyai kewibawaan dan daya paksa dalam kreasi pelaksanaan dan pembinaan hukum. Dengan demikian fungsi masyarakat Hukum Adat adalah merupakan suatu bingkai yang turut menentukan kepribadian Hukum Adat setempat yang dipagarinya atau selaku peta denah dari halaman kerjanya.

B. Organisasi Desa
a.   Pengertian desa
Organisasi desa menurut Hukum Adat ialah suatu kesatuan kemasyarakatan berdasarkan ketunggalan wilayah yang organisasinya didasarkan atas tradisi yang hidup dalam suasana rakyat dan mempunyai suatu badan urusan pusat yang berwibawa di seluruh lingkungan wilayahnya. Ia merupakan kesatuan tertunggal wilayah terbesar dalam suasana rakyat, artinya bahwa organisasi itu merupakan proyeksi dari kecakapan atau kemauan dari anggota masyarakat itu sendiri.
Dalam Hukum Adat, desa mempunyai nama setempat yang berbeda-beda seperti: desa, negari, kuria, marga dll.

Dalam UU nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerinatahn daerah,   Pasal 1 angka 12 dikatakan desa  atau yang disebut  dengan nama lain adalah  kesatuan masyarakat  hukum yang memiliki batas-batas wilayah, yang berwenang mengatur  dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan  aal usul dan adat istiadat setempat  yang diakui  dan dihormati dalam sistem pemerintahan  NKRI.
b.   Fungsi desa
Desa berfungsi dan bermakna serta berkonsekuensi dalam Hukum Adat: 
1)  Merupakan subyek hak ulayat
2)  Masyarakat hukum yang paling utama. Masyarakat hukum dalam arti, badan hukum yang berwibawa dalam perkembangan dan pemeliharaan hukum adat.

c.  Pola Susunan Pemerintahan Desa:
1) Persekutuan setempat atau desa bersentralisasi, yaitu suatu kebulatan kemasyarakatan yang didasarkan ketunggalan wilayah yang di pusatnya terdapat perurusan kekuasaan yang mengurus segala hal di wilayahnya.
2) Persekutuan daerah atau desa berdesentralisasi, dibaginya satu wilayah desa menjadi beberapa bagian atau daerah dan setiap daerah mempunyai badan pemerintahan kecil yang berkuasa di daerahnya sendiri, namun untuk sebagian menjalankan/menerima kekuasaan dari pemerintah pusatnya.
3) Federasi desa atau perserikatan desa (dorpenbond) yaitu bergabungnya beberapa desa yang saing berdekatan/berbatasan untuk suatu kepentingan dan kemanfaatn bersama. Dalam hal ini pemerintah pusat masing-masing desa yang bergabung memberi amanat/kuasa kepada badan perurusan (yang dibentuk tersendiri oleh desa-desa yang bergabung) untuk mengurus apa yang menjadi kepentingannya.

VI. KETUNGGALAN SILSILAH DAN PAGUYUBAN HIDUP
A. Ketunggalan Silsilah dan Kewangsaan
Dalam realita orang Indonesia, ada suku bangsa yang perhubungan darahnya didasarkan atas ketunggalan silsilah dan ada yang didasarkan perhubungan darahnya pada kewangsaan, Baik ketunggalan silsilah maupun kewangsaan, keduanya mempunyai dasar yang sama yaitu masing-masing mendasarkan kepada adanya ketunggalan leluhur/ketunggalan darah.

1. Ciri Ketunggalan silsilah
1)     Dilacak melalui satu orang leluhur yang mulia
2) Dilacak sekian jauhnya, sehingga tidak jelas siaa yang menghubungkan antara anggotanya itu.
3)   Dilacak secara unilateral, hanya melalui orang-orang laki-laki saja    
      atau perempuan saja.
4)   Biasanya dilacak hingga 7 atau 8 generasi.

 2. Kewangsaan mempunyai ciri khas sebagai berikut ;
1) Dilacak melalui seorang leluhur siapapun juga baik mulya maupun tidak.
2)  Dilacak hanya sampai 3 atau 4 generasi saja sehingga hubungan satu dengan lainnya masih dapat diketahui dengan jelas.
1)    Dilacak secara parental atau bilateral artinya melalui ibu dan bapak.

B.   Paguyuban Hidup
Suatu paguyuban adalah suatu himpunan manusia dimana yang menonjol adalah berbagai hubungan guyub.
Hubungan guyub adalah suatu hubungan dimana orang yang satu menghadapi orang lain tidak hanya sebagai lantaran, melainkan sebagai tujuan. Perekat hubungan ini adalah berbagai perasaan cinta, rindu, simpati dsb.
Dengan demikian paguyuban hidup merupakan himpunan manusia dimana perhatian orang yang satu dengan yang lain ditujukan kepada segala hal yang perlu dan penting baginya dalam penghidupan dan kehidupannya tanpa pengecualian. Dengan kata lain bahwa semua orang yang terhimpun dalam kelompok itu merasa krasan dan omah (at his case dan at home)
Terdapat 4 pola sebagai cerminan dari kesatuan fungsional/paguyuban hidup:
1) Brayat mandiri yaitu suatu kesatuan kemasyarakatan yang organisasinya didasarkan atas hubungan suami istri yang sah. Intinya paguyuban hidup yang bernama brayat mandiri ini adalah suami dan istri, sedangkan idealnya terdiri atas suami, istri dan anak-anaknya dan semua keturunannya yang sah yang diakui oleh mereka dan selanjutnya.
2) Somah seperut (somah sekandungan) adalah suatu kebulatan kemasyarakatan yang organisasinya didasarkan atas kewangsaan pancar/garis garis perempuan. Ia berinti kepada beberapa orang laki-laki dan perempuan yang bersaudara seibu dan ideal typik terdiri atas kelompok saudara-saudara yang menjadi intinya itu beserta keturunan pancar perempuan dari saudara-saudara perempuan.
3)  Brayat besar patriarchaal
Kesatuan fungsional ini disebut brayat besar karena berisi beberapa nuclear family/nuptial family/conjugal family yang semua menunjuk pada perkembangan brayat. Disebut patriarchaal karena lazimnya berpangkal pada seorang bapak asal dan diurus olehnya atau oleh pengganti kedudukannya oleh seorang patrial.
4)  Brayat diikuti suatu clan pancar laki-laki
Brayat ini lain dengan brayat mandiri karena ia mendapat pengaruh dari ketunggalan silsilah dan clan antara lain:
a) Sebagai anggota desa, brayat ini tidak berdiri sendiri sebagai individu tetapi berkualitas sebagai anggota clan atau ketunggalan silsilah.
b) Dalam perkawinan berlaku sistem exogami.
c) Keanggotaan clan hanya dapat diteruskan oleh keturunan laki-laki pancar laki-laki.

VII. HUKUM TANAH
A,. HAK ULAYAT DAN HAK PERORANGAN
1.Hak Ulayat
Pengertian hak ulayat ialah hak yang dipunyai oleh suatu suku (clan, genus, slam), sebuah serikat desa (dorpenbond) atau biasanya sebuah desa untuk menguasai seluruh seisinya dalam wilayah hukumnya.
Adapun ciri-ciri hak ulayat adalah :
  1. Hanya persekutuan hukum itu sendiri beserta para warganya yang berhak dengan bebas menggunakan tanah yang ada di wilayah persekutuan.
  2. Orang luar hanya boleh menggunakan tanah itu dengan ijin penguasa persekutuan.
  3. Warga persekutuan hukum boleh mengambil manfaat dari wilayah persekutuan dengan batasan hanya untuk keperluan keluarganya.
  4. Persekutuan hukum bertanggungjawab atas segala hal yang terjadi di wilayahnya
  5. Hak ulayat tidak dapat diperalihkan dengan cara apapun juga
  6. Hak ulayat meliputi juga tanah yang sudah digarap, yang sudah diliputi oleh hak perorangan. 
Hak ulayat ini berlaku ke dalam dan berlaku keluar.  Berlaku ke dalam berarti semua warga persekutuan sebagai kesatuan melakukan hak ulayat dengan memetik hasil dari tanah serta tanaman dan binatang di atasnya. Dalam hal ini dilakukan pembatasan terhadap kebebasan usaha atau kebebasan gerak warga persekutuan sebagai perorangan untuk kepentingan persekutuan. Berlaku ke luar berarti bukan warga persekutuan tidak diperbolehkan turut menikmati hasil tanah nyang merupakan wilayah persekutuan kecuali telah membayar pancang (Jawa: mesi; Aceh: uang pemasukan).
Adapun obyek hak ulayat meliputi tanah/daratan, air/perairan seperti sungai, danau, pantai beserta perairannya, tumbuh-tumbuhan yang hidup liar dan binatang yang hidup liar.

2.Hubungan Hak Ulayat dan Hak Perorangan
Dalam hubungan hak ulayat dengan hak perorangan terdapat hubungan saling pengaruh mempengaruhi. Pada kaitan ini bersifat mengembang dan mengempis. Artinya semakin kuat hak perorangan akan semakin lemah hak ulayatnya, demikian sebaliknya jika semakin kuat hak ulayat maka akan semakin lemah hak perorangannya.
Kedudukan Hukum Adat, hak ulayat dalam Hukum Pertanahan Nasional adalah sebagai berikut:
a.    Hukum Adat sebagai dasar terbentuknya Undang-undang Pokok Agraria (UUPA).
b.    Hak ulayat diakui keberadaannya dalam UUPA, yaitu pada pasal 3 sepanjang hak ulayat itu masih ada.
c.    Warga persekutuan yang mempunyai ciri sebagaimana yang tercantum pada  huruf a, hak ulayat ditingkatkan menjadi hak WNI.
d.    Tujuan ciri seperti huruf c, dipakai sebagai dasar penentuan pemilikan minimal atau maksimal tanah pertanian dalam UU Nomor: 56 Prp 1960.    

B.   Hak Perorangan
  1. Pengertian Hak Perorangan
Hak perorangan adalah suatu hak yang diberikan kepada warga desa atau orang luar atas sebidang tanah yang ada di wilayah hak ulayat.
  1. Jenis-jenis hak Perorangan
1)    Hak milik, hak yasan (inlandbezitsrecht)
2)    Hak wenang pilih, hak kinacek, hak mendahulu (voorkeursrecht)
3)    Hak menikmati hasil (genotsrecht)
4)    Hak pakai (gebruiksrecht) dan hak menggarap atau mengolah (ontginningsrecht)
5)    Hak keuntungan jabatan (ambtelijk profitrecht)
6)    Hak wenang beli (naastingsrecht)

  1. Cara Perolehan Hak Milik
1)    Membuka tanah hutan atau tanah belukar
2)    Mewaris tanah
3)    Menerima tanah karena pembelian, penukaran atau hadiah
4)    Daluwarsa (verjaring)
Dalam masalah melakukan Hak membuka tanah bagi masyarakat hukum Adat harus diperhatikan dua hal agar tanah yang dibuka itu tidak menimbulkan kegoncangan;
  1. Pembukaan tanah harus menghormati:
1)    Hak ulayat
2)    Kepentingan warga desa yang lain
3)    Aturan hukum Adat

  1. Tata cara pembukaan tanah:
1)    Memberitahukan kepada kepala persekutuan hukum
2)    Memberi tanda-tanda batas
3)    Mengadakan upacara adat
Dengan mengindahkan hal- hal sebagaimana yang ditentukan dalam tata cara tersebut, maka pembukaan tanah itu menjadi terang,  kongkrit dan religious sesuai dengan asas publisitet dan religies yang merupakan sifat Hukum Adat.

VIII HUKUM TANAH
A. Pengaruh raja
Pada kenyataannya raja-raja juga mempunyai pengaruh dalam perkembangan Hukum Tanah, pengaruh tersebut dapat berupa dua kemungkinan; yaitu merusak pengaturan Hukum Tanah dan dapat juga memperkuat pengaturan Hukum Tanah.

B. Pengaruh Pemerintah Kolonial
Pengaruh pemerintahan kolonial dalam Hukum Tanah yang cukup penting adalah sebagai berikut:
Pajak bumi atau landrent  dari Raffles
Cultuurstelsel dari Gubernur Jenderal Van den Bosch
Agrarisch Wet, Agrarisch Besluit, Domein Verklaring
Vervreemdingsverbod  (S. 1875 No. 179)

C. Pengaturan Hak Perorangan Dalam UUPA
1 Hak-hak yang ada di dalam UUPA sebagaimana yang termuat dalam pasal 6-undang-undang ini.
2. Cara perolehan hak perorangan khususnya hak milik menurut UUPA dibandingkan dengan cara perolehan dalam Hukum Adat
3. Fungsi sosial di dalam hak milik menurut UUPA dibandingkan dengan yang ada dalam Hukum Adat.


IX. HUKUM PERKAWINAN ADAT
A. Pengertian Perkawinan
Menurut  MM Djojodigoeno, perkawinan merupakan upacara saja, upacara itu merupakan inisiasi (pemasukan) dalam keadaan yang baru; yaitu keadaan orang-orang yang telah penuh perkembangan hidupnya sehingga menjadi orang yang penuh bernilai dalam masyarakat. Oleh karena mereka sebagai pemimpin dalam paguyuban yang disebut keluarga (somah) dan mengatur hal ikhwal hidup mereka berdua dan hidup anak-anaknya tanpa batasan apapun juga.
Hilman Hadikusuma, menyatakan bahwa perkawinan merupakan suatu perikatan antara dua pihak dalam memenuhi perintah dan anjuran Tuhan Yang Maha Esa agar kehidupan berkeluarga dan berumahtangga  berjalan baik sesuai dengan ajaran agama masing-masing. Selain itu, menurut Van Gennep perkawinan adalah suatu upacara rites de passage (upacara peralihan). Upacara peralihan tersebut melembagakan perubahan status diri mereka berdua, dari tadinya hidup terpisah tetapi setelah melalui upacara-upacara tertentu menjadi hidup bersama sebagai suami isteri. Adapun tiga tahapan menuju hidup bersama sebagai suami isteri menurut Gennep adalah rites de separation (upacara perpisahan pelepasan dari status semula), rites de marge (upacara perjalanan menuju ke status baru), dan rites d ‘aggregation (upacara penerimaan ke dalam status baru).
Dalam pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974, dinyatakan perkawinan adalah ikatan lahir-batin anatara seorang laki-laki dan perempuan sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ke Tuhanan Yang Maha Esa.
 
B.Asas-asas Perkawinan
Menurut Hukum Adat suatu perkawinan bukan semata-mata ikatan antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri, tetapi juga bermakna suatu hubungan hukum yang menyangkut pra anggota kerabat dari pihak suami ataupun dari pihak isteri. Oleh karena itu, perkawinan tidak saja harus sah dilakukan menurut hukum agamanya dan atau kepercayaannya tetapi juga harus mendapat pengakuan dari para anggota kerabatnya. Pengakuan anggota kerabat menjadi penting karena masyarakat adat dapat menolak kedudukan suami isteri yang tidak diakui oleh adat.
Perkawinan, selain terjadi antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri, dapat juga dilakukan oleh seorang pria dengan beberapa wanita sebagai isteri yang kedudukannya masing-masing ditentukan oleh Hukum Adat.  Selain itu, menurut Hukum Adat perkawinan dapat pula dilakukan oleh laki-laki dan perempuan yang belum cukup umur  atau masih anak-anak. Apabila terjadi perkawinan antara anak yang belum cukup umur dan orang yang sudah cukup umur, maka perkawinan itu harus mendapatkan izin dari orang tuanya atau kerabatnya.
Di dalam UU No. 1 Tahun 1974 masalah asas perkawinan, alasan kawin lebih dari seorang isteri dan syarat-syarat poligami diatur pada pasal 3, 4 dan 5. Persyaratan yang diatur pada pasal 4 UU Perkawinan ini dikenal dengan persyaratan alternatif, sedangkan pasal 5-nya dikenal dengan persyaratan kumulatif dalam poligami. 

C. Sistem Perkawinan
Berdasarkan ketentuan Hukum Adat terdapat beberapa sistem perkawinan yang mendominasi aturan di masyarakat, yaitu :
a.    Endogami, dalam masyarakat yang mengatur perkawinannya dengan sistem ini, konsekuensinya seorang laki-laki diharuskan mencari calon isteri yang berasal dari lingkungan kerabatnya (keluarga, klan, atau suku sendiri).
b.    Exogami, menurut sistem perkawinan ini, seorang pria yang akan melangsungkan perkawinan diharuskan mencari calon isteri berasal di luar marga atau kerabatnya.
c.    Eleutherogami, dalam sistem perkawinan ini seorang laki-laki tidak diharuskan atau dilarang untuk mencari calon isteri di dalam atau di luar lingkungan kerabatnya.
 
D, Bentuk –bentuk  Perkawinan
Pada umumnya menurut Hukum Adat walaupun orang sudah dewasa tetapi tidak berarti  bebas untuk melakukan perkawinan tanpa persetujuan dari orang tua atau kerabatnya. Oleh karena itu, jika bertindak sendiri dalam melakukan perkawinan dapat berakibat orang yang bersangkutan menjadi tersingkir dari kerabatnya.  Dalam masalah perkawinan, perlu  persetujuan orangtua lebih penting dari pada persetujuan calon mempelai.
Dalam sistem hukum adat dikenal 3 bentuk perkawinan yaitu:
1. perkawinan dengan pembayaran jujur
Perkawinan dengan pembayaran jujur terjadi  pada masyarakat yang sistem kekerabatannya  patrilineal seperti di Batak, Lampung, bali, papua< Nusatenggra dan lain-lain. Pembayaran jujur berfungsi untuk memutus  keanggotaan  calon  istri dengan kerabatnya dan memasukkan  keanggotaan istri ke dalam kerabat suami.
     2. Perkawinan  semenda
      Perkawinan semenda  terjadi pada masyarakat yang sistem kekerabatnnya  matrilinela seperti di Minangkabau. Dalam perkawinan semenda  calon pengantin laki-laki tidak membayar jujur kep[ada kerabat calon pengantin wanita, tetapi justru mendapatakan  uang jemputan. Bentuk perkawinan Semenda  yang asli adalah semenda bertandang yang dalam hal ini suami hanya datang pada waktu malam hari ke rumah istri sedan gkan pada siang hari akan keluar  mencari nafkah. Dalam perkawinan semenda status keanggotaan suami tetap  sebagai anggota kerabatnya dan tidak masuk  ke dalam anggota kerabat istri.
        3. Perkawinan mentas/ mencar/ bebas
 Perkawinan mentas terjadi pada masyarakat yang sistem kekerabatannya  parental,  seperti di Jawa dan Madura. Setelah melaksanakan perkawinan  maka mempelai berdua   membentuk rumah tangga  baru.
  
X. HUKUM PEWARISAN ADAT
A. Pengertian Hukum Waris Adat
Menurut Ter Haar, hukum waris adat adalah aturan-aturan hukum yang bertalian dengan dari abad ke abad penerusan dan peralihan harta kekayaan yang berwujud dan tidak berwujud dari generasi ke generasi. Selain itu, pendapat Soepomo ditulis bahwa Hukum Adat Waris memuat peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan serta mengoperkan barang-barang harta benda yang berwujud dan yang tidak berwujud (immateriele goederen), dari suatu angkatan generasi manusia  kepada keturunnya.
Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan, bahwa Hukum Waris Adat mengatur proses penerusan dan peralihan harta, baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dari pewaris pada waktu masih hidup dan atau setelah meninggal dunia kepada ahli warisnya. 

B. Perbandingan Sifat Hukum Waris
Adapun sifat Hukum Waris Adat secara global dapat diperbandingkan dengan sifat atau prinsip hukum waris yang berlaku di Indonesia, di antaranya adalah :
a.    Harta warisan dalam sistem Hukum Adat tidak merupakan kesatuan yang dapat dinilai harganya, tetapi merupakan kesatuan yang tidak dapat terbagi atau dapat terbagi tetapi menurut jenis macamnya dan kepentingan para ahli waris; sedangkan menurut sistem hukum barat dan hukum Islam harta warisan dihitung sebagai kesatuan yang dapat dinilai dengan uang.
  1. Dalam Hukum Waris Adat tidak mengenal asas legitieme portie atau bagian mutlak, sebagaimana diatur dalam hukum waris barat dan hukum waris Islam.
  2. Hukum Waris Adat tidak mengenal adanya hak bagi ahli waris untuk sewaktu-waktu menuntut agar harta warisan segera dibagikan.
 
C. Asas Hukum waris
Berdasarkan ketentuan Hukum Adat pada prinsipnya asas hukum waris itu penting , karena asas-asas yang ada selalu dijadikan pegangan dalam penyelesaian pewarisan. Adapun berbagai asas itu di antaranya seperti asas ketuhanan dan pengendalian diri, kesamaan dan kebersamaan hak, kerukunan dan kekeluargaan, musyawarah dan mufakat, serta  keadilan dan parimirma. Jika dicermati berbagai asas tersebut sangat sesuai dan jiwai oleh kelima sila yang termuat dalam dasar negara RI, yaitu Pancasila.
Di samping itu, menurut Muh. Koesnoe, di dalam Hukum Adat juga dikenal tiga asas pokok, yaitu asas kerukunan, asas kepatutan dan asas keselarasan. Ketiga asas ini dapat diterapkan dimana dan kapan saja terhadap berbagai masalah yang ada di dalam masyarakat, asal saja dikaitkan dengan desa (tempat), kala (waktu) dan patra (keadaan).  Dengan menggunakan dan mengolah asas kerukunan, kepatutan dan keselarasan dikaitkan dengan waktu, tempat dan keadaan, diharapkan semua masalah akan dapat diselesaikan dengan baik dan tuntas.



D. Sistem Hukum Waris
Menurut ketentuan Hukum Adat secara garis besar dapat dikatakan bahwa sistem hukum waris Adat terdiri dari tiga sistem, yaitu :
a.    Sistem Kolektif,
Menurut sistem ini ahli waris menerima penerusan dan pengalian harta warisan sebagai satu kesatuan yang tidak terbagi dan tiap ahli waris hanya mempunyai hak untuk menggunakan atau mendapat hasil dari harta tersebut. Contohnya seperti Minangkabau, Ambon dan Minahasa.
b.    Sistem Mayorat,
Menurut sistem ini harta warisan dialihkan sebagai satu kesatuan yang tidak terbagi dengan hak penguasaan yang dilimpahkan kepada anak tertentu saja, misalnya anak laki-laki tertua (Bali, Lampung, Teluk Yos Sudarso) atau perempuan tertua (Semendo/ Sumatra Selatan), anak laki-laki termuda (Batak) atau perempuan termuda atau anak laki-laki saja.
  1. Sistem Individual,
Berdasarkan prinsip sistem ini, maka setiap ahli waris mendapatkan atau memiliki harta warisan menurut bagiannya masing-masing. Pada umumnya sistem ini dijalankan di masyarakat yang menganut sistem kemasyarakatan parental.

XI.          HUKUM DELIK ADAT
A. Pengertian Hukum Delik Adat
Sebagaimana diketahui bahwa istilah hukum Pidana adalah terjemahan dari istilah Belanda “adat delicten recht”  atau hukum pelanggaran adat. Adapun pengertian hukum delik Adat menurut Ter Haar menunjukkan adanya perbuatan sepihak yng oleh pihak lain dengan tegas atau secara diam-diam dinyatakan sebagai perbuatan yang mengganggu keseimbangan. Menurut Van Vollenhoven, delik Adat adalah perbuatan yang tidak boleh dilakukan walaupun dalam kenyataannya peristiwa atau perbuatan itu hanya merupakan kesalahan yang kecil saja.


B. Sifat dan Sistem Hukum Delik Adat
Sifat Hukum Delik Adat dikatakan menyeluruh dan menyatukan, hal ini dikarenakan latar belakang yang menjiwai bersifat kosmis, yang satu dianggap bertautan atau dapat dipertautkan dengan yang lainnya. Hal demikian mengakibatkan yang satu tidak dapat dipisah-pisahkan dengan yang lain.  
Di samping itu, Hukum Delik Adat tidak membedakan antara pelanggaran yang bersifat pidana yang harus diperiksa oleh hakim pidana, dengan pelanggaran yang bersifat perdata yang harus diperiksa oleh hakim perdata. Apabila terjadi pelanggaran, maka yang diperhatikan bukan semata-mata perbuatan dan akibatnya tetapi juga dilihat apa yang menjadi latar belakang dan siapa pelakunya.
Tindakan reaksi atau koreksi dalam menyelesaikan akibat peristiwa yang mengganggu keseimbangan tidak saja dapat ditindak terhadap pelakunya, tetapi juga dapat dikenakan pertanggungjawabannya kepada keluarga atau kerabat pelaku atau masyarakat adatnya. Sedangkan lapangan berlakunya hukum delik Adat terbatas pada lingkungan masyarakat adat tertentu, tidak menyeluruh di seluruh wilayah Indonesia. Selain itu, kekuatan berlakunya sangat tergantung pada tempat, waktu dan keadaan dimana delik itu terjadi.
Adapun sistem hukum delik Adat dijiwai Pancasila, dijiwai oleh sifat-sifat magis religius, yang diutamakan bukanlah keadilan perorangan tetapi rasa keadilan kekeluargaan. Dalam mempertimbangkan masalah bukan keputusan yang penting, tetapi penyelesaian yang membawa kerukunan, keselarasan dan kekeluargaan.
Sistem pelanggaran yang dianut dalam hukum delik  Adat adalah terbuka, tidak tertutup seperti hukum Pidana barat yang terikat pada ketentuan sebagaimana yang tercantum dalam pasal 1 KUH Pidana. Dalam hukum delik Adat  untuk melihat perbuatan salah, tidak dilihat apakah perbuatan itu karena dolus atau culpa tetapi dilihat akibatnya. Apakah akibat suatu perbuatan itu diperlukan koreksi dan reaksi yang berat atau ringan, apakah cukup dibebankan pelaku saja atau keluarga, kerabat dan masyarakat adatnya. Hal ini berbeda dengan ketentuan yang dianut oleh hukum Pidana barat, bahwa perbuatan salah itu dititik beratkan pada perbuatan karena dolus atau culpa saja. Jika dikarenakan culpa akibatnya  hukumannya akan menjadi lebih ringan dari pada perbuatan itu dikarenakan dolus.  
Pertanggungjawaban terhadap kesalahan menurut hukum delik Adat  tidak membedakan pelaku itu waras atau gila, yang dilihat akibatnya. Oleh karena itu, pihak yang dirugikan dapat menuntut ganti kerugian atau penyelesaian sebagai akibat perbuatan orang gila kepada pihak keluarga/ kerabatnya. Berbeda dengan prinsip pertanggungjawaban hukum Pidana barat, jika pelaku tidak waras/ gila tidak dapat dihukum dan tidak dapat menuntut kepada pihak keluarganya.
Menurut hukum delik Adat perorangan, keluarga, kerabat yang menderita kerugian sebagai akibat kesalahan seseorang, dapat bertindak sendiri menyelesaikan dan menentukan hukuman ganti kerugian dan lain-lain terhadap pihak pelaku yang telah berbuat salah, tanpa menunggu kerapatan atau keputusan petugas hukum Adat. Di samping itu, hukum delik Adat  tidak mengenal perbuatan yang bersifat “membantu berbuat” atau “membujuk berbuat” atau “ikut berbuat” sehingga perbuatan itu merupakan rangkaian yang menyeluruh.   



C. Delik-delik Tertentu
Dalam hukum delik Adat beberapa jenis delik dapat digolongkan menjadi  delik yang berat dan segala pelanggaran yang memperkosa dasar susunan masyarakat. Delik yang termasuk kriteria yang berat ini adalah segala pelanggaran yang mengganggu keseimbangan antara dunia lahir dan dunia ghaib.
Selain itu, delik yang termasuk pelanggaran memperkosa dasar susunan masyarakat adalah seperti pengkhianatan, pembakaran kampung, inses, hamil tanpa nikah, melahirkan gadis, zina, pembunuhan, penganiayaan, pencurian dan sebagainya.

D. Peradilan Adat
Peradilan adat adalah  acara yang berlaku menurut hukum adat dalam memeriksa, mempertimbangkan, menyelesaikan suatu perkara, meliputi pemeriksaan perkara, yang berhak memeriksa, saksi-saksi dan sumpah. Istilah peradilan (rechtspraak) pada dasarnya berarti pembicaraan tentang hukum dan keadilan yang dilakukan dengan sistem persidangan (permusyawaratan) untuk menyelesaikan perkara di muka pengadilan dan atau di luar pengadilan.
Dalam proses peradilan adat dapat dilakukan oleh anggota masyarakat secara perorangan, keluarga, tetangga, kepala kerabat/ adat, kepala desa atau oleh pengurus perkumpulan organisasi. Penyelesaian konflik ini diupayakan secara damai untuk mengembalikan keseimbangan masyarakat yang terganggu. Pemulihan keseimbangan yang terganggu ini diutamakan dengan jalan kerukunan, keselarasan dan keharmonisan  antara para pihak yang bersengketa.  




Daftar Referensi:
Hadikusuma, Hilman, Pokok-pokok Asas Hukum Adat, Alumni, Bandung.

________________, 1992, Pengantar Ilmu Hukum Hukum Adat Indonesia, Mandar Maju, Bandung.

________________, 1977, Hukum Perkawinan Adat, Alumni, Bandung.

________________, 1987, Hukum Kekerabatan Adat,  Fajar Agung, Jakarta.

________________, 1990, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat dan Hukum Agama, Mandar Maju, Bandung.
________________, 1989, Hukum Pidana Adat, Alumni, Bandung.

________________, 2001, Hukum Perekonomian Adat Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Bandung.

Harahap, Yahya, Kedudukan Janda, Duda dan Anak Angkat Dalam Hukum Adat, PT Citra Aditya Bakti, Bandung.

Soedijat, Imam, 1981, Asas-asas Hukum Adat Bekal Pengantar, Liberty, Yogyakarta.

____________, 1981, Hukum Adat Sketsa Adat, Liberty, Yogyakarta.

Soekanto, Soerjono, 2001, Hukum Adat Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Soemarman, Anto, 2003, Hukum Adat Perspektif Sekarang dan Mendatang, Adi Cita, Yogyakarta.

Wignjodipoero, Soerojo, tt, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, PT Gunung Agung, Jakarta.